Aku pemuas nafsu laki-laki - 2

Sampai tak terasa akhirnya celana yang kupakai juga sudah terbuka ritsletingnya. Dan dengan bernafsunya dia mulai mencumbui punyaku dengan bibirnya walaupun saat ini aku masih memakai celana dalam. Sampai akhirnya aku betul-betul tersangsang dengan cumbuannya itu dan dengan suka rela aku lepaskan semua pakaianku yang memang sudah terbuka semua kancingnya sehingga aku benar-benar dalam keadaan polos, sedangkan Iwan dengan secara perlahan tetapi pasti mulai melepaskan semua pakaian yang menempel ditubuhnya sehingga dia juga dalam keadan polos juga. Kemudian dia seolah-olah mau menerkamku dan kami bergumul entah berapa lama. Yang tadinya aku benar-benar merasa jijik dengan perlakuan Iwan kepadaku, akhirnya sedikit demi sedikit aku mulai bisa menikmatinya, walaupun aku belum bisa mencumbui lawan mainku seperti Iwan mencumbuiku mulai dari atas sampai kebawah dan sebaliknya. Akan tetapi aku hanya bisa bertindak pasif saja dalam melayani kemauan Iwan pada diriku sedangkan Iwan begitu agresif dan aktif sampai-sampai aku kewalahan dalam menerima cumbuannya sehingga tidak lama kemudian aku mencapai puncaknya dan tak lama kemudian Iwan juga mencapai puncaknya juga. Dan dipagi itu juga akhirnya kami berdua terkapar ditempat tidur lagi dan akhirnya kami tertidur lagi tanpa sehelai pakaian yang melekat ditubuh kami.

Setelah menjelang sore barulah kami bangun dari tidur kami dan kurasakan tubuhku begitu pegal-pegal dan malas untuk bangun dan tidak lama kemudian Iwan juga terbangun tanpa terasa aku mengelus-elus sambil memijat-mijat punggungnya yang berkulit lebih putih bila dibandingkan dengan kulitku yang agak hitam ini. Dan ternyata Iwan begitu menikmati elusan dan pijatan tanganku dipunggungnya, karena aku sedikit banyak mempunyai pengalaman pijat urat yang kupelajari dari orang tuaku. Sehingga tangannya tidak kusadari sebelumnya sudah mulai meremas-remas punyaku sambil sekali-kali mengecupnya. Sampai akhirnya adegan tadi pagi terulang kembali akan tetapi tidak begitu lama dan tidak begitu menguras tenaga seperti paginya. Setelah selesai, akhirnya kami mandi bersama di bath tube yang ada dihotel itu sambil sesekali Iwan mendaratkan ciumannya dibibirku, kami saling bermanja seperti layaknya pengantin baru.

Hari-hariku selama bersama Iwan di Bali hampir sebagaian besar kami gunakan untuk saling bercumbu rayu sampai akhirnya tiba waktunya Iwan harus kembali kekotanya ketika aku mengantarkannya dibandara Ngurah Rai karena dia akan pulang dengan naik pesawat. Ketika di lobby bandara sebelum dia masuk keruang tunggu dia sempat memelukku cukup lama dan membisikan ditelingaku

"Boy, aku sayang kamu, dan aku tak akan melupakan kamu, suatu saat kita akan bertemu lagi, sering-sering berkirim surat untukku"
"Baiklah, Wan" kataku perlahan.

Ketika Iwan akan masuk keruang tunggu diatas, dia mengambil tasnya yang cukup besar kemudian dia membukanya dan mengambil sebuah amplop putih yang cukup tebal dan kemudian diselipkan ke dalam tanganku, sambil berlalu,

"Good bye Boy, see you later and don't forget me"

Aku hanya diam mematung sambil melambaikan tanganku tanpa ada sepatah katapun yang keluar dari mulutku, karena aku merasakan ada sesuatu yang hilang dalam diriku, dan aku sendiri tidak mengetahuinya apa itu. Seakan hidup ini kembali hampa dan sepi kembali tidak ada gairah lagi. Dengan langkah lunglai aku keluar dari lobby bandara Ngurah Rai dan pergi degan tak tahu tujuan mana yang harus kutempuh lagi. Sambil pikiranku terus berkecamuk tak tentu arah

"Apakah aku sudah jatuh cinta dengan Iwan, Apakah aku juga sudah menjadi seorang gay seperti halnya Iwan"
"Ketika aku berangkat dari kampungku, ketika aku meninggalkan pacarku saat dia melambaikan tangannya dipelabuhan, tidak ada sesuatu yang kosong dan hampa akan tetapi mengapa sekarang ketika aku ditinggalkan Iwan aku banar-benar merasa hampa, Apakah aku seorang gay juga. Yah apakah aku seorang gay" tanyaku dalam hati dan terus pertanyaan itu muncul mengantar langkahku yang tak tahu arah tujuannya ini.

Akhirnya langkah kakiku membawaku kembali kekawasan pantai Kuta kembali dan aku kembali duduk termenung dipinggir pantai sambil memandangi ombak yang bergulung-gulung, sambil meraba kantongku yang berisi amplop putih yang cukup tebal pemberian Iwan. Dengan hati berdebar kubuka perlahan amplop tersebut ternyata didalamnya ada cukup banyak uang lembaran dua puluh ribuan yang tak kuhitung jumlahnya akan tetapi terasa banyak bagiku dan baru kali ini aku memegang uang sebanyak itu. Dan didalamnya ada secarik kertas kecil memo dari hotel dengan tulisan tangan Iwan yang cukup singkat.

"Boy, I love you, aku sayang kamu, aku tidak dapat hidup tanpa kamu, Iwan"

Kumasukkan kembali kertas kecil itu ke dalam amplop putih pemberian Iwan, sambil terus merenungkan diriku sendiri,

"Apakah aku sudah menjadi pelacur laki-laki yang menjual dirinya, kehormatannya, harga dirinya hanya demi uang"
"Ah persetan dengan semuanya itu, pokoknya aku bisa mendapatkan segalanya dengan uang yang kumiliki dan tak perlu kerja keras membanting tulang lagi"

Senja dipantai Kuta mulai turun dan pemandangan matahari merah yang mulai tenggelam seakan menghanyutkan aku dengan khayalan demi khayalan, tanpa kusadari aku didekati oleh seorang turis bule, dan dengan bahasa Inggris yang sangat pas-pasan kujawab pertanyaan bule itu, yang akhirnya kuketahui bahwa dia tidak jauh berbeda dengan Iwan yang akhirnya pada malam itu juga aku jadi budak nafsunya, sampai keesokan harinya aku memulai petualanganku yang baru sebagai penjaja cinta sejenis yang begitu semu. Karena seakan sudah terkenal dibelahan bumi manapun kalau pantai Kuta adalah surga bagi turis mancanegara yang terkenal dengan istilah Tripple S yaitu: Sun (matahari), Sand (pasir/pantai) dan Sex.

Jadi dipantai Kuta adalah surga bagi yang menginginkan sex dengan cara apapun karena disana juga banyak gigolo yang kalau siang hari berprofesi sebagai guide selancar air, menyewakan payung pantai dan sebagainya yang kalau diminta dengan senang hati akan melayani kemauan turis-turis asing asalkan ada imbalan uang yang cukup banyak, apapun akan dia lakukan tanpa rasa risih. Sehingga aku juga berpikir apakah aku juga sudah menjadi salah satu bagian dari antara mereka itu. Akan tetapi aku masih bersikap tertutup bila ditempat umum, tidak seperti mereka yang begitu atraktif dan vulgar dalam memikat mangsanya.

Tidak terasa sudah dua bulan lamanya aku berpetualang di pantai Kuta dan sudah tak terhitung lagi berapa banyak laki-laki yang sudah kulayani baik itu turis dari manca negara maupun turis domestik yang memerlukan variasi dalam kehidupan sexnya dan masalah finansial aku tidak mendapatkan kesulitan lagi karena begitu banyak pemberian mereka tanpa kuminta, mereka sudah memberikan lebih dari pada yang kuperlukan.

Sampai suatu hari aku kenal dengan seorang pemuda yang bernama Anton dan dia berasal dari Surabaya. Pada saat itu juga aku teringat akan tujuanku semula datang ke pulau Jawa yaitu untuk meneruskan studiku, sehingga dengan senang hati aku menuruti ajakan Anton untuk pulang ke Surabaya bersamanya. Didalam pesawat terbang dari Denpasar ke Surabaya bersama Anton disisiku, aku merenungkan diriku kembali seolah seperti film yang diputar ulang dari mulai pertemuanku dengan Iwan sampai aku akhirnya menjadi pemuas nafsu laki-laki dan sekarang petualangan baru yang bagaimana lagi yang akan kujalani dikota Surabaya ini.

Setelah kurang lebih setengah jam lamanya diudara akhirnya pesawat mendarat di bandara Juanda dan kami langsung memanggil taksi untuk menuju rumah Anton dikawasan perumahan yang cukup elit di Surabaya Barat. Untuk beberapa lamanya aku tinggal dirumah Anton dan tentunya setiap malam kami tidak melewatkan cumbuan demi cumbuan, dan ternyata kawan-kawan Anton cukup banyak sekali dan aku diperkenalkan satu persatu dengan kawan-kawannya itu yang sebagian besar mereka juga dari kalangan gay, sehingga aku akhirnya mempunyai relasi yang cukup banyak juga, sampai akhirnya aku mendaftarkan diri menjadi mahasiswa disalah satu perguruan tinggi swasta dikota Surabaya.

Dan setelah jadwal perkuliahan dimulai, aku pamit secara baik-baik kepada Anton, bahwa aku akan kost saja didekat kampusku agar tidak terlalu menyusahkan dirinya, walaupun dengan berat hati akhirnya dia meluluskan permintaannku untuk pindah dari rumahnya. Setelah mengikuti kuliah selama kurang lebih dua bulan lamanya, maka timbul rasa jemu dan bosan sehingga tidak ada satupun mata kuliah yang bisa kuserap sampai akhirnya aku benar-benar meninggalkan bangku kuliahku. Dan aku mulai menghubungi kawan-kawan Anton yang pernah diperkenalkan kepadaku dulu. Aku dengan basa-basi menawarkan jasaku untuk memijat apabila ada yang merasa cape atau lelah, dan kalau dimintapun aku akan dengan senang hati melakukan pelayanan yang lainnya asalkan aku memperoleh tambahan uang jasa. Akhirnya jasa yang kutawarkan tersebut ditanggapai oleh banyak orang dari satu mulut ke mulut yang lain, sehingga makin banyak lagi yang menjadi langgananku menikmati pijat plus tadi.

Untuk menjaga privasi agar tertutup rapi dan tidak semua orang disekitarku mengetahui profesiku, maka aku putuskan untuk mencari tempat kost yang jauh dari keramaian, akhirnya kudapatkan sebuah tempat kost dengan kamar ukuran dua kali tiga meter yang terletak disebuah gang yang kecil. Dan agar lebih profesional lagi aku memakai sebuah pager, semua relasiku kuberitahu nomor pagerku agar lebih cepat untuk menghubungi aku kalau lagi memerlukan jasaku. Sedangkan alamat tempat kostku tidak semua orang yang kuberitahu selain beberapa orang yang kupercaya bisa menjaga privasiku dilingkungan tempat kost yang tidak sedikit penghuninya. Jadi semua relasiku cukup menunjukkan tempat dimana aku harus datang atau menyebutkan nomor telepon yang harus kuhubungi.

Hari-hari yang paling menyibukkan bagiku dan merupakan panen bagiku adalah setiap hari Sabtu dan Minggu, karena pada hari-hari tersebut banyak relasiku yang libur dan butuh suasana relaks untuk mengendorkan otot-otot yang lelah. Adapun relasiku bukan hanya dari kalangan kawan-kawan Anton saja akan tetapi sudah meluas sampai kesemua lapisan bahkan dari berbagai macam profesi ada yang dokter, dosen, guru, manager dan juga dari kalangan selebritis juga sudah mengenalku dan sudah tahu nomor pagerku bahkan ada pula pejabat pemerintahan yang juga mengenalku Sehingga kalau ada show dari para selebritis Jakarta yang datang, kadangkala aku sampai tiga hari tiga malam tidak pulang ketempat kostku, karena aku harus melayani mereka secara bergiliran kadang sehari sampai dua atau tiga orang.

Tidak jarang diantara mereka yang menawariku untuk bekerja dengannya, membantu dibidang usahanya. Akan tetapi aku berusaha menolaknya secara halus. Sampai saat ini empat tahun telah berlalu, aku menggeluti bidang ini. Kadang aku berpikir sampai kapan aku terus begini, memang dari segi finansial aku tidak kekurangan karena aku bisa memiliki barang-barang dari jerih payahku seperti halnya televisi, mini compo, motor untuk menemui relasiku bahkan aku juga bisa melengkapi diriku dengan sebuah handphone sehingga kalau ada pager yang masuk aku tidak perlu keluar menuju telepon umum seperti dulu lagi untuk membalas pager tersebut. Sedangkan nomor handphoneku sengaja kurahasiakan dan hanya beberapa orang saja yang mengetahuinya, itupun yang sudah menjadi langganan tetapku.

Hingga saat ini aku belum mempunyai pekerjaan tetap dengan gaji yang tetap pula. Pernah terlintas dalam benakku untuk mulai bekerja dengan pekerjaan yang halal sebagai tenaga apapun, tapi aku jadi takut dengan penghasilanku yang mungkin pada permulaannya gaji yang bakal kuterima sekitar 300 sampai 400 ribu sebulannya, karena aku hanya mengandalkan ijasah SMU saja sedangkan aku hanya menikmati bangku kuliah selama kurang lebih dua bulan, jadi belum ada keahlian khusus yang kudapatkan. Ini yang menjadi dilema dalam kehidupanku kalau bekerja secara halal aku harus memperhitungkan semua pengeluaranku rutin secara hemat sedangkan dengan keadaanku seperti saat ini mungkin penghasilanku selama sebulan bisa melebihi yang sudah mengantongi ijasah tingkat sarjana.

Para pembaca yang budiman berilah kepadaku jalan keluar yang terbaik agar aku boleh menjadi orang yang benar-benar berguna bagi diriku sendiri dan bagi keluargaku, karena sampai saat ini masih belum terlintas dalam pikiranku untuk hidup membina satu keluarga yang bahagia. Dan keluargapun yang di kampung juga belum mengetahui profesi dari anaknya yang jauh di rantau, mereka masih mengharapkan aku tekun belajar dan menjadi seorang sarjana yang baik.

Tamat