Sesama Pria
Sunday, 27 December 2009
Aku nyaris jadi gigolo - 1
Dalam batinku, aku rasa kalau aku harus menumpahkannya dalam sebuah tulisan untuk melepaskan sedikit ganjalan di batinku. Penting kuingatkan sebelumnya, bahwa tulisan ini dibuat tanpa bermaksud membawa pikiran pembaca kepada hal-hal negatif dan pornografi. Maafkan aku sebelumnya, jika pikiran anda ternyata tak terkontrol ketika meresapi cerita ini. Sejujurnya, aku dapat katakan disini bahwa dalam tulisan ini tak melulu berisi hal-hal yang negatif dan ilmu anatomi tubuh manusia saja, melainkan lebih lagi menyimpan sebuah pelajaran yang berharga tentang apa yang disebut "Ilmu kehidupan."
Aku tahu, pasti ada beberapa pembaca yang akan langsung menutup page ini ketika membaca kata-kataku di atas, khususnya para pembaca bernafsu besar yang selalu ingin lebih dan lebih lagi dalam hal-hal seperti itu (kalian tahu sendirilah, maksudnya! Oke?). Tapi tak apalah, aku bisa memakluminya sebagai orang yang pernah mengalami saat-saat dimana pikiran ini seolah-olah hanya dipenuhi oleh sex, sex dan sex. Namun tak lupa juga kuucapkan terima kasih bagi kalian yang berani meluangkan sedikit waktu dan uang untuk membayar biaya warnet hanya demi membaca tulisan singkat yang sedikit acak-acakan ini.
Oke, sebelumnya aku ingin sampaikan sedikit perkenalan. Namaku sebut saja Reino, beberapa hari lagi aku berulang tahun yang kedua puluh satu. Kata orang, umur dua puluh satu adalah titik balik awal kedewasaan seorang laki-laki. Aku lahir dan dibesarkan di suatu kota yang maaf saja tak bisa kusebutkan, sebut saja kota M. Namun, sejak SMU aku tinggal di pulau Dewata, kumpul dengan keluarga om-ku. Jujur saja, sebetulnya awalnya aku merasa terpaksa tinggal bersama keluarga besar om-ku seperti umumnya anak pungut yang lain. Namun, aku harus menjalaninya untuk bisa terus melanjutkan sekolah setelah kedua orang tuaku tak lagi punya pekerjaan tetap.
Tetapi lambat laun, aku mulai bisa menyesuaikan diri dengan tempat tinggal baruku. Apalagi, setelah aku mendapatkan banyak teman dan sahabat baik di kota dimana aku tinggal kini. Dua orang sahabatku yang paling baik adalah Riva dan Mario. Aku dan Mario sudah bersahabat sejak duduk di bangku SMU kelas dua, karena kebetulan dia adalah salah satu teman sekelasku. Sedangkan, Riva kukenal dari Mario. Kalau mendengar ceritanya, Riva masih memiliki darah turunan Swiss bercampur Bali.
Memang, tampangnya tak mirip orang indonesia atau tampang melayu seperti yang banyak berkeliaran di jalanan. Kulitnya lebih putih dan hidungnya bangir seperti bule. Kalau dibandingkan di antara kami bertiga, memang Riva-lah yang paling cute dengan tampang indonya itu. Mario pun sebenarnya juga tampan, meski kulitnya agak sedikit gosong, but he is black sweet! Sedangkan aku, bagaimana yah? aku tak bisa mendeskripsikan diriku sendiri. Tapi yang jelas aku ada keturunan chineese dan berbadan lebih kekar dibandingkan kedua sahabatku agak kerempeng itu, karena kebetulan aku memang sport mania.
Hari itu aku ingat betul aku sedang mencuci baju ketika Tante memanggilku karena Mario dan Riva datang mencariku. Terkesan aneh, karena tak biasanya Mario atau pun Riva datang tanpa mengabariku sebelumnya, pagi-pagi lagi! Seingatku, waktu itu sekitar jam delapanan, mungkin lebih sedikit. Apalagi jam segitu, mereka biasanya kuliah. Kalau seperti aku sih wajar kalau ada di rumah tiap pagi, karena aku tidak punya kesempatan untuk bisa kuliah seperti Riva dan Mario, aku juga belum bekerja saat itu. Mencari pekerjaan bukannya hal yang mudah bagiku, apalagi hanya lulusan smu dan tidak punya ketrampilan apa-apa, selain daripada menjual tampang dan menebar pesona, itu pun kalau bisa digolongkan ke dalam salah satu bentuk ketrampilan.
"Kok tumben? Ada apa?" tanyaku heran ketika menemui mereka di ruang tamu.
Seperti biasanya, bahkan berlagak seolah-olah tidak ada apa-apa, mereka berdua tampak memasang muka kecut. Aku malah bingung melihatnya, kupikir ada suatu masalah yang begitu berat yang menimpa mereka atau gank kami. Karena beberapa hari yang lalu, kami bertiga memang sempat tersangkut masalah dengan penduduk desa ketika mobil Riva menyerempet seorang laki-laki di desa itu.
"Kita ngomong di belakang saja yuk!" bisik Mario sambil memberi isyarat dengan kedipan matanya, karena Tante tampak masih sibuk bekerja di ruang tengah dengan kain pelnya.
Kami bertiga pun lantas menuju kebun belakang yang tidak terlalu luas itu. Tetapi setibanya di kebun belakang, mendadak dari arah belakang, Riva mengguyurku dengan air dingin yang kemudian diikuti oleh derai tawa ngakaknya. Mario juga terpingkal-pingkal menyaksikan ulah Riva dan tampangku yang langsung kecut seketika.
"Happy Birthday, bro!" pekik mereka berdua sambil bergantian memelukku.
Aku sungguh tidak ingat, kalau hari itu adalah hari ulang tahunku. Luar biasanya, aku malah diingatkan oleh kedua sahabat baikku itu. Aku hanya bisa tersenyum senang, meski saat itu aku jadi salah tingkah. Setiap tahun, aku memang tak pernah ingat akan hari ulang tahunku. Aku ingat sekali, terakhir aku mengingat hari ulang tahunku adalah ketika berumur 12 tahun, ketika aku meminta sebuah hadiah mobil tamiya pada Mamaku, meski beliau tak membelikannya karena tak ada uang. Saat itu aku marah sekali, aku kecewa dan aku memutuskan untuk tidak akan mengingat lagi hari ulang tahunku sejak saat itu, karena aku pikir tak ada gunanya mengingat hari ulang tahun jika tak ada kue tart dan hadiah-hadiah. Bahkan saat itu, dengan gusar, Mamaku berkata: "Jika kau ngotot ingin kado, minta saja pada sinterklas!". Kata-kata itulah yang justru membuat aku makin bertambah kecewa, karena sampai detik ini aku belum menerima kiriman kado satu tamiya-pun dari sinterklas.
"Kau tak ada acara penting hari ini kan? tak ada wawancara lagi? kita ke kebun raya yuk!" ajak Riva kemudian. Kebetulan, hari itu aku memang tak ada rencana keluar rumah atau pun wawancara kerja yang tak pernah membuahkan hasil selama ini.
Aku sih mengiyakan saja, diajak jalan-jalan masak mau ditolak? apalagi, mereka berdua punya maksud mulia untuk membuat hari ulang tahunku saat itu menjadi spesial, setidaknya lebih mengesankan daripada tahun-tahun sebelumnya yang nyaris senantiasa berlalu tanpa kesan. Aku pun segera ke kamarku untuk berganti pakaian, memakai setelan kaos lengan panjang dan celana jeans kain warna krem dan jaket dari bahan yang sama. Hanya pakaian itu yang menurutku paling bagus dan paling aku suka dari beberapa potong pakaian yang aku punya, kebetulan keduanya baru kusetrika semalam.
Di dalam mobil mercy E320 milik Riva, Mario duduk di depan, di samping Riva, sementara aku duduk di jok belakang. Lagaknya sih sepertinya aku yang menjadi bos di dalam mobil itu, bersama dengan sopir dan asisten pribadi yang duduk di jok depan. Tapi siapa yang menduga, kalau yang duduk di belakang, ternyata adalah yang paling kere alias paling melarat di antara mereka bertiga. Lucu juga, tetapi memang seperti itulah realita hidup, ada orang yang diberi kesanggupan untuk membeli mobil mewah namun tak bisa menikmatinya, sedangkan di sisi lain, ada yang bisa menikmati nikmatnya duduk di dalam mobil mewah, namun tak diberi kesanggupan untuk dapat membelinya. Tapi itu hanya sekedar basa-basi saja, aku hanya bercanda, aku tak lantas jadi lupa diri karena duduk di dalam mobil mewah dan punya teman-teman anak pengusaha kaya, aku tahu siapa diriku. "Be myself" is a best way in my life.
Setelah sekitar satu jam perjalanan dari Denpasar, kami pun tiba di kebun raya Bedugul. Terakhir kami mengunjungi tempat itu kurang lebih delapan bulan yang lalu saat keluarga Mario berakhir pekan di sana, kebetulan aku dan Riva juga ikut waktu itu.
Tak ada yang begitu istimewa yang dapat kuceritakan selama kami berada di dalam "Hutan" itu selain daripada kegembiraan kami bertiga sambil menikmati udara sejuk dan suasana tenang yang jauh dari hiruk pikuk suara mesin kendaraan. Sesuatu yang terasa menggelitik dan cukup seru, paling-paling hanyalah ketika kami berulah menjadi agen spionase mengintip orang pacaran di tempat itu. Seru dan lucu, sekalipun kami sendiri masing-masing sudah pernah merasakannya!
Menjelang pukul satu siang, kami bertiga keluar dari dari kebun raya, namun tak langsung pulang. Riva mengajak makan siang di salah satu resto yang ada di dekat tempat itu.
"Ulang tahun tak meriah tanpa acara makan-makan kan?!?" bisik Riva.
Aku mengangguk, "Asal bukan aku yang bayar saja!" sahutku yang disambut tawa oleh mereka berdua.
Kami pun masuk ke dalam resto berarsitektur bali itu, Mario merangkulku seperti yang biasa dilakukannya untuk menunjukkan keakrabannya. Bagiku hal seperti itu sudah biasa, bahkan kadangkala di depan umum kami bertiga bisa berlagak semesra orang pacaran jika naluri usil kami muncul, tetapi tentu saja dalam batas-batas sopan dan wajar, kami juga tak mau orang-orang di sekeliling kami sampai berpikiran macam-macam tentang kami, apalagi kalau mereka sampai nyebur selokan karena terpana saat melihat kami, kasihan kan?
Pasti makanan disini mahal sekali, pikirku. Apalagi setelah di depan mataku tersaji sepiring besar Bistik daging, beberapa potong paha burung dara goreng Kanton, soup asparagus, serta beberapa gelas juice dan pencuci mulut. Yang jelas, kami bertiga makan sampai perut kami tak muat lagi menampung makanan saking kenyangnya.
"Kita pulang sekarang?" tanyaku setelah kulirik jam dinding di dalam restoran sudah menunjukkan jam setengah tiga sore.
Bersambung . . . .