Sesama Pria
Sunday, 27 December 2009
Alex, maafkan aku - 1
Benci dan rindu merasuk di kalbu
Ada apa dengan cintaku
Sulit untuk aku ungkap semua
Ini adalah kisah lanjutan dari kedua kisahku sebelumnya. 'Kenangan Masa Lalu' dan 'Aku, Pamanku Dan Sepupuku'. Sebelumnya aku mau berterima kasih atas respon yang luar biasa dari para pembaca. Thanks banget. Aku juga mau berterima kasih untuk 17Tahun.com yang mau menampilkan kisahku ini. Mungkin aku sedikit naïf dengan cerita ini, tapi sekali lagi mohon maaf jika "mungkin" tidak se'hot' dengan cerita lainnya karena ini kisah asli. Kuambil kisah ini dari buku harianku yang sesungguhnya ingin kulupakan dan kubuang. Masa-masa indah yang menyakitkan. Yang coba kurangkum.
****
Selama kuliah, aku dapat mengatasi gejolak hati ini. Aku sibuk dengan pekerjaan dan mengajar di bimbel. Bahkan aku berusaha untuk menyukai seorang wanita, yang akhirnya kandas. Tahun 1999 aku masuk sebuah organisasi kepemudaan (bukan organisasi teroris loh).
Suatu hari seseorang yang tidak aku kenal tiba-tiba menyodoriku setumpuk brosur.
"Eh.. Kamu, bagiin brosur neh"
Aku kaget karena tidak mengenalnya. Bahkan aku dibuat kesal saat itu karena dia seakan-akan memerintah orang seperti pelayannya sendiri sedangkan saat itu aku ingin pulang.
"Dasar tuh orang" pikirku sambil tetap membagikan brosur.
Setelah hampir 20 menit kulihat dia tidak ada.
"Wah, dia mau lepas tanggung jawab ya" pikirku lagi. Aku segera membawa sisa brosur dan kuberikan ke orang lain yang juga sedang membagikan brosur. Aku beralasan ingin balik pulang.
Seminggu kemudian aku ditugaskan didaerah utara Jakarta (maaf dirahasiakan). Saat turun dari taksi, aku segera masuk dalam ruangan. Kuberikan jabat tangan dengan orang-orang di sana sambil mengenalkan diriku hingga aku tertegun saat seseorang juga memberikan jabat tangan. Ya, orang yang sok itu. Ia tersenyum padaku.
"Oh, kamu yang bantuin aku waktu itu ya" katanya "Namaku Alex"
Sebenarnya aku agak kesal tapi saat melihatnya tersenyum, panas dihati jadi turun. Kusodorkan tanganku untuk berjabat tangan.
"Gunawan" kataku..
Saat sedang makan siang, ia duduk disebelahku. Ia bercerita tentang dirinya dan akupun terlibat dengan pembicaraannya. Kemudian ia menawarkan agar saat pulang nanti bisa naik motor dengannya. Kupikir, kenapa nggak? Bisa menghemat ongkos taksi.
Itulah awal perkenalan kami. Umurnya saat itu masih 26 tahun sedangkan aku 21 tahun. Dia orang Chinese, berasal dari Singkawang. Sifatnya periang, sanguinis, walaupun umurnya 5 tahun lebih tua dariku tapi kadang masih kekanak-kanakan. Selama enam bulan pertama perkenalan kami, aku tidak memiliki perasaan yang sangat khusus. Aku anggap dia sebagai seorang kawan yang baik. Kami selalu pergi dan pulang bersama. Maklum, waktu itu aku belum memiliki kendaraan, sehingga kalau pergi maka dia yang menjemput dan pulang diantar. Pakai kuda besi lagi (motor, istilah yang ia buat), jadi lebih cepat. Kalau dia yang bawa motor, maka aku duduk dibelakang sambil memeluk pinggangnya, seperti orang yang lagi pacaran.
Kadang kusenderkan tubuhku rapat dipunggungya. Kadang, kalau lagi iseng, kuraba dadanya. Dia merasa geli. Atau kuletakkan tanganku dipahanya. Kadang dia berkomentar "Ntar tegang nih". Aku tertawa. Kalau aku yang bawa motor, maka giliran dia yang suka memegang dada dan perutku. Kalu kami pergi kemall atau rstoran, ia mengandeng pingganku dan aku memegang pundaknya. (karena dia lebih pendek dariku)Aku sangat senang bisa berkenalan dan menjadi teman baginya, tapi bisakah bertahan?
Dia selalu bercerita banyak tentang kehidupan masa lalunya. Sungguh, kehidupannya penuh dengan wanita. Kulihat dari fisiknya, ia lebih pendek sedikit dari aku, tapi wajahnya tampan. Pantas saja dikejar-kejar. Mirip Andy Lau sih, cuman agak pendek.
Aku sangat senang jika ada orang yang mau bercerita tentang dirinya kepadaku dan memberikan kepercayaannya kepadaku. Dia melakukannya. Dia bercerita tentang kehidupan masa lalunya saat di Batam dan Singapura. Dia sering bermain dengan banyak wanita, bahkan Tante-Tante maupun pelacur di sana.
"Wah, anak ini straight banget", pikirku.
Dia juga bercerita kalau ada kesempatan maka akan melakukannya dengan berbagai tipe wanita didunia. Kami saling bercerita tentang apapun, bahkan sampai ke panjang penis dan jenis CD segala. Wah, tidak ada sesuatu yang ditutupi darinya. Aku berusaha agar ia tidak tahu bahwa aku gay.
Desember 2000
Saat itu kami sedang mempersiapkan sebuah acara ke daerah puncak. Aku dan Alex sebagai tim pertama yang harus datang ketempat penginapan. Jadi tim akomodasilah. Jadi kami berangkat pukul dua siang dari Jakarta. Setelah sampai di puncak, kami mempersiapkan segala sesuatunya. Hari sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Aku dan dia cukup lelah.
Kami berbaring di atas kasur. Kulihat dia sedang kecapean. Kulirik wajahnya. Cukup tampan. Entah kenapa aku senang jika berada dekat dengannya Merasa tenang dan damai.. Tapi aku tidak mau menunjukkan perasaanku itu karena aku berjanji pada diriku sendiri untuk mengubah apa yang sudah kulalui. Kulirik lagi dia. Dia tersenyum. Aku merasa senang. Itulah saat pertama kali kurasakan bahwa aku sangat sayang padanya, bukan karena ketampanannya atau bodynya, tapi karena dia seorang yang baik hati.
April 2001
Aku jatuh sakit dan harus masuk rumah sakit karena demam berdarah. Kulihat jam tanganku. Ah, masih setengah tiga siang. Masih lama jam besuknya. Tiba-tiba kulihat seseorang berdiri didepan pintu. Aku langsung tersenyum. Alex!
"Gimana bos! Enak nggak nginep di rumah sakit?" candanya.
"Mana enak. Apalagi tiap malem meriang. Kaya mau mati rasanya" seruku.
"Jangan gitu. Entar aku kehilangan nih. Oh, ya. Aku nggak tahu mau bawa apa? Habis kalau bawa buah takut nggak boleh. Ntar kalau bawa yang laen, kamu malah nggak boleh makan" candanya lagi.
"Nggak usahlah. Udah dijenguk dan temenin juga syukur. Kok bisa masuk? Kan belum jam besuk?" tanyaku heran.
"Iya dong, Alex!". Aku tersenyum. Dasar sok jagoan, tapi aku seneng.
"Kata orang sih kalau sakit ginian minum air yang banyak sama pocari juga" kataku lagi.
Kemudian kami terlibat dalam pembicaraan. Aku sangat senang karena ia mau menemaniku. Aku tahu ia orangnya sibuk. Saat datang ke Jakarta, ia tidak punya apa-apa. Saat pertama berkenalan dengankupun, ia memiliki banyak hutang karena harus membuka toko di Mangga Dua. Tapi sekarang, usahanya tambah maju sehingga ia sibuk sekali. Dan yang lebih mengherankan lagi, dia orangnya super cuek. Apalagi kalau sama teman-temannya yang lain. Dia kadang tidak peduli dengan keadaan teman-temanku yang lain. Tapi, kenapa denganku tidak? Ia menemaniku sampai jam besuk tiba. Ia bilang kalau sudah ada yang datang untuk menemani aku, dia baru pulang. Thanks man!
Keesokan harinya ia kembali datang pada jam yang hampir sama dengan kemarin. Aku kaget dibuatnya. Dia bawa pocari yang banyak dan aqua besar beberapa botol. Wah, perhatian bener dia.
"Pengen buat aku kembung ya?" kataku.
"Mau sembuh nggak? kalau kagak, diambil lagi nih!" serunya.
"Oke boss, tengkyu yee" jawabku senang.
"Oh, ya. Biar malem kamu nggak kesepian dan temenin meriangmu, nih, kubawa walkman sama beberapa kaset".
Kemudian ia menyodorkan sebuah bungkusan. Didalamnya terdapat walkman Sonny kepunyaannya dan beberapa kaset. Ah, dia memang baik! Kalau saja dia tahu bahwa aku menyukainya.
Juni 2001
Kami berdua pergi ke Surabaya dalam rangka menghadiri seminar. Aku dan dia sudah siap-siap di Stasiun Gambir pada jam 8 malam. Kami naik Argo Bromo Anggrek yang memerlukan perjalanan kira-kira 10 jam. Di dalam kereta kami banyak bercerita dan bercanda. Sekitar jam 12 malam kami berdua sudah kelelahan. Sementara AC kereta cukup dingin. Saat itu kami berdua menghangatkan badan dengan saling berdekatan. Badan kami sudah tertutup selimut. Tanpa terasa kepalaku sudah berada dipundaknya, kulihat dia tidak keberatan.
Akupun tertidur dipundaknya, kereta sudah memasuki stasiun pasar turi. Kulihat jam ditanganku menunjukkan pukul limaan. Kami segera turun dan menuju ke hotel yang memang sudah disiapkan. Sebuah hotel bintang empat. Ah, sebuah kamar yang nyaman dengan sebuah kasurnya yang empuk. Siapa lagi kalau bukan Alex. Setiap melihat kasur yang empuk, ia segera melompat keatasnya, melompat-lompat seperti anak kecil, lalu mengacak-acak tempat tidur itu. Aku tertawa dibuatnya. Setelah itu, ia bersiap untuk mandi.
Jantungku berdegup saat ia melepaskan seluruh pakaiannya kecuali CD birunya tonjolan di CDnya membuatku tertegun. Dadanya yang bidang membuat darah ini serasa mengalir lebih cepat. Kucoba untuk curi-curi pandang namun takut kalau ia mengetahuinya. Aku hanya menelan ludah.
Seharian kami berada di luar hotel. Baru pulang lagi saat hari sudah malam. Aku melepas lelah sambil mandi lalu menonton TV. Ia juga sudah selesai mandi. Saat itu rasanya aku ingin tidur. Ngantuk sekali. Kucoba baringkan diri dikasur. Tak lama ia juga baringkan dirinya dikasur. Aku dekatkan kepalaku didadanya. Kembali ia tidak keberatan. Kepalaku ada di atas dadanya. Kepeluk ia seperti guling. Kudekap dan rasanya tak ingin kulepas. Ia diam saja. Kurasakan tonjolan dikedua pahanya. Ah, seandainya dia gay! Aku tidak melancarkan apapun setelah itu. Hanya memeluknya erat. Aku tidak berbuat apa-apa kecuali tidur sampai pagi.
Bersambung . . . . .