Sesama Pria
Monday, 21 December 2009
The 21 centimeter man
"Iya, untung aja sopirnya lincah, kalau enggak ringsek tuh colt" dia menimpali celetukanku.
Ini adalah Malam Minggu pertama sejak aku menetap di Ibukota tercinta. Dari referensi sebuah buku yang pernah aku baca, dikatakan bahwa di daerah Terminal Cililitan banyak kaum Gay yang kumpul-kumpul di waktu malam.
Dengan sedikit keberanian aku coba kenali lenggoknya Jakarta di Cililitan. Dan aku masih awam, serta menebak-nebak, yang mana kumpulan anak G tersebut. Ah, nikmati saja terminal yang super semrawut ini.
"Mau rokok Mas?" tiba-tiba laki-laki di sebelahku itu menawari rokok.
"Boleh".
Cukup lumayan juga lelaki ini bathinku. Sambil mengambil sebatang rokok yang ia tawarkan, aku perhatikan penampilannya. Dengan kemeja rapi, rambut tersisir rapi dengan kilap jellynya. Serta kumisnya yang rapi bagus dan tebal, mengingatkan aku dengan Slamet Rahardjo. Walau badan sedikit kurusan, justru ini menimbulkan kesan seksi.
"Kalau mau ke Pejompongan, naik bus nomor berapa ya?" tanyaku untuk mengisi omongan, sekalian mencari informasi supaya jangan tersesat.
Dan akhirnya kami terlibat omongan yang panjang lebar, mengasyikkan. Dari situasi terminal yang semrawut, sampai pada harga barang-barang yang semakin melambung. Pokoknya semua diomongkan. Namanya Budi, orang betawi ada sedikit mengalir darah Arab.
Tak terasa waktu sudah sangat larut malam. Aku mesti pulang, takut tidak dapat angkutan dan situasi terminal sudah agak sepi. Rasanya was-was juga.
"Bud, aku mau pulang. Udah malam nih."
"Hmm, kalau mau nginap di tempat saya aja."
Really, aku jadi ragu terhadap tawaran tersebut. Menyadari aku orang baru di Jakarta dan ketemu orang yang baru saja aku kenal. Tetapi rasanya Budi sangat hangat ngajak ngobrol denganku. Apalagi wajah dan penampilannya cukup simpatik.
"Apa nggak ngerepoti nantinya?"
"Nggak, nyantai aja."
"OK deh." akhirnya kuputuskan untuk ikut pulang ke tempat tinggalnya, karena besok hari libur, dan tidak ada lagi kerjaan yang harus aku kerjakan.
Kami pergi berdua naik colt omprengan. Ke daerah yang tentu saja tidak aku ketahui daerah mana itu. Sampai di tempatnya, ternyata tempat kos-kosan, dia baru cerita bahwa ia tinggal kos dengan temannya.
"Wah, An kita harus nungguin temenku, belum pulang, kuncinya dibawa dia."
"Iya deh" tidak ada pilihan lagi. Lalu kami berdua duduk di kursi panjang depan kamarnya. Suasana remang-remang dan sangat sepi, kamar-kamar sebelahnya gelap, seperti sudah terlelap tidur semua. Udara terasa sangat dingin, sekitar jam 2 dini hari.
Kami melanjutkan obrolan di kursi tersebut. Tiba-tiba antara sengaja dan tak sengaja, tangan kami saling bersentuhan. Desir keras mengalir darah ke jantungku. Dan sentuhan tersebut berlanjut dengan saling meremas tangan. Benar-benar dadaku bergejolak. Aku masih sangat hijau dengan urusan yang bernama lelaki.
Saling remas itu berlanjut.. dan sepertinya kami sudah tidak bisa mengendalikan nafsu. Kami saling menyusupkan tangan ke kemeja, untuk mengusap-usap puting. Serr.. kepalaku seakan mau lepas. Aku belum pernah merasakan sensasi seperti ini. Maklum di daerah aku selalu menahan diri, dan control sosial begitu cukup ketat. Sehingga aku cukup terkekang untuk masuk ke dunia lain.
Tidak puas dengan meremas-remas serta mengusap-usap puting, tangan kami bergerilya ke daerah lain. Ke bawah.. dan makin ke bawah. Setelah dia memegang kemaluanku, aku juga memegang kepunyaannya dari luar celananya. Tampak keras, dan tidak jelas bentuk penisnya, karena terlindung ketat dengan celana jeannya yang tebal.
Akhirnya kubuka kancing celananya. Dan kupelorotkan retsletingnya pelan-pelan. Terlihat celana dalamnya yang putih, semakin menambah rangsangan birahiku. Dan aku susupkan telapak tanganku ke dalam celana dalam yang putih itu.
"Hahh!" seakan tersetroom tanganku. Aku memegang benda panas di balik CD-nya. Aku pegang erat benda panas tersebut. Really?! Aku sangat penasaran, aku sibakkan CD-nya untuk melihat sejelas-jelasnya apa yang aku pegang.
Alamakk. Sulit dipercaya.. Sebatang tongkat tertanam kuat diantara selangkangannya. Aku masih belum percaya benar, aku ambil posisi berlutut di depannya sambil aku tarik-tarik batang kemaluan itu, siapa tahu cuma pasangan alias tidak asli.
Ternyata tidak, benda dengan diameter lebih dari 5 cm dan sepanjang teh botol lebih, masih tertanam kuat di rerimbunan rambut di antara selangkangannya. Antara melihat keajaiban dan nafsu yang sudah tidak karuan lagi aku perhatikan batang kemaluan itu dengan urat-urat sebesar kabel. Fantastik. Menjulang sedikit belok ke kiri. Dengan kepala besar, proporsional dengan batangnya. Benar-benar sempurna.
Akhirnya tanpa pernah belajar dari siapa pun, aku kulum batang kemaluan tersebut. Ini pertama kali aku mengulum batang kemaluan laki-laki. Wahh ternyata yang selama ini cukup menjijikkan; sungguh nikmat.
Pertama aku masukkan kepala penisnya, ke rongga mulut dengan pelan-pelan. Sungguh cukup lebar aku harus menganga. Aku isap-isap kepala itu. Aku lihat Budi merem-melek merasakan isapanku. Akhirnya aku masukkan dalam batang kemaluannya ke rongga mulutku. Hanya sebagian atau hanya setengah yang bisa tertelan mulutku.
Aku angguk-anggukkan kepalaku agar mulutku bisa bekerja naik turun. Wow, ternyata naluri seksku bisa berjalan tanpa pernah belajar. Aku jepit keras batangnya di antara bibirku, sambil terus bergerak naik turun. Sekali-kali aku lirik batang kemaluannya yang penuh urat yang besar-besar itu, membuatku tambah nafsu untuk mempermainkan mulutku. Dan Budi membalasnya dengan mengusap rambutku serta menciumi pipiku. Sapuan kumisnya di daerah pipiku, sungguh membuat aku terlena. Apalagi bibirnya yang sedikit merah medaratkan ciuman hangat di pipiku. Aku benar-benar melayang sampai langit yang ke tujuh.
Selang beberapa menit, sangat amat capai mulut ini. Betapa kerasnya mulut ini harus bekerja untuk menelan batang hangat panas, yang menyumbat habis mulutku. Tersedak aku dibuatnya. Ku keluarkan batang itu dari mulutku.
Tapi nafsu yang menggelora tidak pernah bisa aku padamkan. Aku ciumi seluruh permukaan batang itu dengan bibirku yang basah dan lidahku yang kumain-mainkan. Dari pangkal batang di rerimbunan rambut, menyusuri urat-urat besar di batangnya, perlahan dengan perasaan nikmat sampai ujung kepalanya. Di ujung kepala batangnya, aku berhenti, aku julurkan ujung lidahku untuk masuk ke lubang kepala batangnya. Huh, nikmat juga. Cukup lebar lubang kepala batangnya. Ujung lidahku cukup masuk ke lubang tersebut.
Cukup lama aku memain-mainkan ujung lidahku di lubang tersebut, sambil menetralisir mulutku yang tadi kecapaian. Setelah puas aku mempermainkan lubang batang penisnya. Aku lahap lagi batang kemaluannya ke dalam mulutku yang mulai kehausan lagi untuk menelan batang hangat panas itu.
Dengan pelicin ludahku yang sedikit mengalir di batang kemaluannya, aku susupkan dalam-dalam batang tersebut, maju mundur. Dan dengan semangat yang masih menggelora aku tekan lagi batang itu dengan kedua bibirku yang basah. Aku lirik wajah dan badan Budi yang menggelinjang karena isapanku yang mungkin cukup expert, walau I did the first time.
"Eh, baru pulang!" tiba-tiba Budi sedikit berteriak ke arah temannya yang tiba-tiba datang, tepat di depan kami, sambil melepaskan batangnya dari jepitan mulutku. Kemudian memasukkannya kembali ke dalam CD dan celananya.
Sungguh tidak enak, sangat tidak enak. Nafsuku yang sudah menggelora sampai ke planet Mars, tiba-tiba terbanting jatuh ke bumi di perkampungan Jakarta. Huhh! sangat mengganggu.
Akhirnya diperkenalkan temannya, namanya Adi. Setelah Adi membukakan pintu kamar, kami bertiga masuk. Kamar yang tidak terlalu besar, apalagi untuk bertiga. Hanya ada sebuah kasur besar di atas karpet.
Setelah kamar dikunci, Budi langsung menanggalkan seluruh pakaiannya, bajunya dan celananya, hanya tersisa CD-nya saja. Sangat seksi. Dan tidak lama kemudian dia langsung menanggalkan pakaianku satu per satu, aku menurut saja. Ia mendaratkan ciumannya ke pipiku dan bibirku. Wuu.. ronde kedua pikirku.
Tapi sekarang Budi yang aktif, setelah puas melumat bibirku, ia turun menciumi leherku yang cukup putih dan halus. Sementara Adi hanya melihat saja; tetapi tangannya gatal juga untuk mengelus-elus pipiku, dan batang kemaluanku. Aku tidak mempedulikan Adi. Fokusku tetap ke Budi. Setelah leherku, giliran putingku yang mendapatkan sapuan kumisnya dan hangat kenyutan bibirnya yang merah basah itu. Yes.. yes.., aku dibawa lagi ke awang-awang.
Lama dia mengenyot kedua putingku hingga membuatku mendesah, dan sekarang giliran bergerak perlahan menuju armpit-ku alias ketiakku. Huu.. Yess, aku mendesah semakin jelas, menandakan aliran darahku mulai tidak teratur lagi.
Setelah puas di daerah itu, giliran sekarang di tempat yang selalu aku jaga. Yah, di daerah terlarangku, alias kemaluanku. Mulutnya sangat hangat, terasa di kepala dan batang kemaluanku. Batangku dipilin-pilin. Oh, surga dunia kudapatkan.
Sambil merasakan pilinan mulut dan lidah Budi di kemaluanku, aku pegang tongkat estafet yang tadi sempat lepas dari mulutku di kursi depan kamar. Sekarang tanpa ampun lagi kubetot batang itu keras-keras, walaupun telapak tanganku tidak muat membetot batang itu seluruhnya, karena saking besarnya dia.
Aku kocok batangnya. Budi sudah melepaskan mulutnya dari batang kemaluanku. Sekarang giliran scrotumku yang mendapat giliran jilatan dan sapuan kumisnya. Sementara Adi hanya melihat saja kami main berdua.
Wowww.., baru aku sadari bahwa scrotumku adalah daerah rawanku. Aku mendesah lebih keras, dan itu disadari Budi bahwa itu daerah rawanku. Ia tekan dengan bibir sambil mempermainkan lidahnya lebih cepat lagi. Aku semakin tidak karuan gerakan badanku dan pegangan pada tongkatnya kadang lepas, karena aku tidak bisa mengatur lagi irama kocokan untuk batangnya, cauze jilatan lidah dan bibir Budi di daerah scrotumku membuat aku seperti kuda binal.
Setelah beberapa menit Budi mengerjai scrotumku, aku tidak kuat lagi. Aku lepaskan batang kemaluan Budi, dan aku kocok sendiri batang kemaluanku di saat Budi aktif mempermainkan lidah dan bibirnya di daerah scrotumku.
"Oh, Bud.. Bud.. Crot-crot-crot.." semburan air mani hangat mengenai wajahnya, terutama pipinya.
Aku mengelinjang, mengelenjot seperti ayam yang baru disembelih. Oh.. aku kuras semua air maniku, aku tumpahkan ke wajah Budi. Aku tersenyum puas, Budi pun membalas senyumku, sangat manis. Tapi aku tidak membiarkan Budi berdiam diri saja setelah berhasil menguras habis air maniku. Dengan sisa tenagaku aku kulum lagi batang kemaluannya yang juga sudah kangen dengan lubang mulutku.
Aku gerakkan maju mundur, lebih cepat lagi. Aku tahu Budi juga sudah di ubun-ubun nafsunya. Warming up -ku di luar kamar tadi sudah cukup lama membuatnya terbang juga. Aku coba lebih keras dan cepat lagi kocokan batangnya dengan mulutku. Tidak mempan juga, padahal 15 menit sudah aku melakukannya itu sampai mulutku kejang kecapaian. Akhirnya aku lepaskan juga batang maut itu. Aku berpindah ke bagian scrotum, siapa tahu dia mempunyai daerah rawan yang sama denganku, sambil aku kocok batangnya dengan tanganku. Dia merasakan nikmatnya. Tetapi batang itu masih saja tegak berdiri, sampai tanganku sekarang yang giliran kecapaian 15 menit mengocok batangnya.
Akhirnya aku susuri seluruh badannya dengan bibir dan lidah yang aku main-mainkan. Ke daerah ketiak.. dan pindah ke putingnya. Aku isap kuat-kuat putingnya dengan bibirku yang basah, sambil tanganku tetap mengocok batangnya.
Saat aku isap putingnya. Tiba-tiba tangannya mengambil alih kendali tanganku yang mengocok batang besar kemaluannya. Dia mengocok sendiri batangnya, dengan cepat dan sangat cepat.
Dan croot! croot! croott! semburan keras air mani kental, mengenai wajahku dan rambutku, bahkan semburan yang tidak terhalang wajahku tersemprot mengenai atap kamar. Woow luar biasa. Dia berkelojotan juga sebagai gerak balik dari semburan air mani kental yang tersemprot sangat kuat.
Sementara Adi melihat kami berdua, sambil senyum-senyum nyengir saja. Dan kami membersihkan badan, terus mau tidur dengan Budi memelukku, dan di sebelahnya Adi. Adi akhirnya ngocok juga dengan berusaha sambil mengisap batang Budi yang ternyata masih berdiri tegak. Dan Adi mengeluarkan juga air maninya. Akhirnya kami bertiga tidur terlelap semua.
*****
Sejak saat itu, aku sering ketemuan dengan Budi. Dan aku lebih sering diajak nginap di rumah sebenarnya bukan di kos-kosan. Dia masih tinggal dengan kedua orang tuanya dan berjibun anggota keluarga lainnya, termasuk seluruh keponakan-keponakannya. Aku bisa akrab dan sangat akrab dengan seluruh anggota keluarganya, dari yang bayi 1 tahun sampai kedua orang tuanya. Mereka semua tidak tahu, hubungan macam apa yang terjadi antara aku dan Budi. Karena penampilan kami wajar-wajar saja. Tanpa kusadari aku telah menjadi boyfriend Budi. Pertama aku merasa aneh, masa' lelaki punya pacar lelaki. Ah, mungkin aku kuno.
Dari waktu ke waktu, akhirnya aku tahu bahwa Budi pernah sangat dekat dengan kalangan celebritis top dan orang-orang terkenal lainnya, yang nota bene orang-orang "sakit". Dan itu bukan isapan jempol, karena adik maupun orang tua Budi pernah cerita bahwa artis A, B, C sampai Z dulu sering kesini. Bahkan tetangganya di perkampungan yang cukup kumuh tersebut juga cerita. Artis A dulu sering kesini, atau artis B pernah kesini. Tetapi sekarang, orang yang ibarat menjadi piala bergilir itu ada di pelukanku.
Aku tidak peduli lembaran hidupnya sebelum ini. Walau sempat timbul dalam hatiku, kenapa ia memilih aku. Aku sangat berada jauh di bawah mereka-mereka yang sudah tenar dan kaya itu. Atau wajahku yang cukup sendu dan manis? He.. hehe.. tentu ge-er ku ini tidak beralasan. Atau mungkin karena aku selalu apa adanya, dan sedikit care walaupun itu dengan berjibun keponakan-keponakannya? Mungkin iya kali', aku berusaha untuk go down to the earth. Ah, tidak baik memuji diri sendiri.
Tapi sayang, kebahagiaanku tidak begitu lama. Setelah aku tahu, bahwa Adi yang Budi bilang temannya itu ternyata pacarnya yang terakhir sebelum kenal aku. Shock, aku dibuatnya. Walaupun Budi selalu bilang bahwa ia telah putus dengan Adi, dan selalu bilang saya punya sifat yang sangat beda dengan Adi maupun pacar-pacar sebelumnya. Tidak cukup kata-kata itu menyembuhkan rasa sakit ini.
Aku juga tahu Budi sangat serius meninggalkan Adi. Tapi Adi tidak mau ditinggalkan begitu saja. Walaupun selama ini anggota keluarga Budi tidak ada yang menaruh sympati dengan Adi, dia tetap sering datang dan datang ke rumah Budi. Dan itu cukup menyesakkan hatiku. Akhirnya aku sering mengalah, untuk meninggalkan Budi. Tetapi semakin aku meninggalkannya, semakin dia berusaha untuk mencari dan mendapatkanku. Jakarta ini sudah tidak ada tempat lagi untuk bersembunyi dari Budi. Bahkan di daerah asalku pun tidak luput dari jangkauannya.
Akhirnya kujalani hidup ini dengan kebahagiaan dan kengiluan luar biasa bercampur jadi satu. Di saat Budi dekat dengan Adi, aku cari kompensasi baru untuk mengobati luka bathin, dengan membuka hati kepada lelaki muda yang mungkin bisa mengisi hatiku. Kebetulan aku sekarang prefer dengan "brondong" alias cowok-cowok muda belia.
Sampai sekarang belum ada brondong yang bisa lama mengisi hatiku. Semua sudah terkontaminasi dengan kilau Jakarta. Disamping seleraku cukup tinggi (alat vital sudah bukan jadi kriteriaku lagi), yang membuat cukup sulit brondong menyelinap di hatiku.
Setelah ber-tahun-tahun aku merasakan pahit getirnya kota Jakarta, dan madu - racun berhubungan dengan Budi. Akhirnya aku tinggalkan semua itu, jauhh.. Mungkin dengan melihat dari jauh, akan ketahuan seperti apa hidupku yang selayaknya. Walaupun aku disini, merasakan ada yang hilang. Tapi biarlah.. semua aku hadapi hidup di negeri orang ini, sendirian.
Tamat