Pijat asmara

Seperti biasa, Yogyakarta dengan jalan Maliboro-nya, petang itu kembali menyisakan kenangan yang tidak akan pernah terlupa. Hiruk pikuk orang yang lalu-lalang di sepanjang jalan di muka pertokoan; jeritan klakson kendaraan maupun raungan reklame melalui pengeras suara menjadikan aku terhanyut dalam suasana keramaian.

Degup dada menjadi tak beraturan ketika kulihat tonjolan besar membayang dari dalam celana pendek yang dikenakannya. Aku gelisah ingin melihat lebih dekat dan lebih jelas lagi sesuatu yang tersembunyi dibalik celana itu. Tapi aku juga sadar untuk tidak berlaku ceroboh yang akhirnya hanya akan membawa aku ke dalam suatu kesulitan. Aku memang sedang ingin jalan-jalan sekedar cari angin. Namun, bayangan itu semakin menggoda, sehingga kuputuskan untuk menghampiri saja abang becak itu.

Baru beberapa langkah aku menghampiri ternyata abang becak itu sudah terlebih dahulu bangkit dari duduknya dan menyapaku
"Mari mas, saya antarkan untuk cari oleh-oleh atau.." dan saya tidak lagi mendengar apa yang dikatakannya kemudian kecuali saya merasa sudah terduduk di kursi becaknya. Sepanjang perjalanan, kami ngobrol tentang segala hal, sehingga kemudian rencana semula yang sekedar hanya putar-putar kota Yogya berubah menjadi singgah di rumah abang becak tersebut.

Walaupun hanya berprofesi sebagai tukang becak ternyata Jono juga menjaga kebersihan tubuhnya. Setiba di rumahnya setelah mempersilahkanku duduk ia segera minta ijin untuk mandi dan berganti pakaian. Aku memilih untuk berangin-angin di beranda di samping rumahnya. Kulihat sekeliling rumah kontrakannya cukup sepi; tenang dan damai. Tak sengaja aku melihat Jono keluar hanya berbalutkan handuk menuju ke tempat mandi yang letaknya memang terpisah dari rumahnya. Tersenyum ia melihat ke arahku dan aku melambaikan tangan membalas senyumnya.

Aku melangkah masuk ke ruang tamu dan duduk di dalam sementara menunggu Jono menyelesaikan mandi.
"Monggo Mas di minum dulu.." ucapnya sambil tersenyum.
"Oh.ya..ya..ya..terima kasih" kataku agak gugup.
Entahlah, aku juga heran kenapa aku jadi merasa nervous. Untuk menutupi kegalauan jiwaku aku ambil gelas kopi itu dan kuhirup sedikit. Rupanya hal ini berhasil menurunkan keteganganku. Aku mulai merasa agak tenang dan dapat mengendalikan sikapku.

"Saya dengar tadi Jono bisa memijat juga ya?" aku membuka pembicaraan.
"Yeah begitulah mas, pijat-pijat refreshing gitu loh. Apakah Mas Resnu mau di pijat sekarang?" Jono ganti bertanya kepadaku yang langsung kujawab dengan anggukan kepala.
"Kalau begitu, monggo berbaring di amben" kata Jono sambil menunjuk ke suatu kamar.

Di dalam kamar selain yang disebut amben dengan sprei batik warna hijau lumut itu juga terdapat lemari, meja kecil dan kaca hias yang tergantung di tembok. Sederhana namun bersih. Aku segera melepas baju dan celana, namun aku masih ragu apakah aku harus juga melepas CD G strings yang biasa kukenakan ini.
Aku berbaring tengkurap menanti Jono datang.
"Mas, kok CD nya ndak dibuka? Apakah nanti ndak takut kotor?" Jono bertanya setelah masuk ke kamar dan melihatku sudah tengkurap.
Aku mulai nakal mencoba menggoda Jono "Nanti Jono aja deh yang bukain, ga keberatan kan?" aku menatap Jono dan ia tersenyum ke arahku.

Saat pijatan dilakukan di bagian paha dan pantat aku sungguh tak kuasa menahan keinginan untuk tidak ereksi. Tanganku hanya mencengkram ujung bantal menahan sensasi kegelian yang nikmat. Dari balik CD G strings aku merasa bahwa kemaluanku sudah meregang dari posisi semula demikian pula dengan bulu-bulu pubic yang kurasa juga mulai terasa meremang. Karena itu aku agak sedikit mengangkat pantatku agar si kecil dapat lebih leluasa bergerak.

"Mas Resnu..bagaimana kalau saya buka celananya?" ucapan Jono agak mengaggetkanku namun juga membuatku merasa senang.
"Boleh..boleh.." sahutku sambil melebarkan ke dua paha serta mengangkat pantatku lebih tinggi lagi.
Dengan cekatan Jono langsung menarik lepas CD yang kupakai. "Celana Mas antique juga ya.." Jono mengomentari CD G stringsku yang dulu kubeli di sex shop ketika aku sedang vakansi ke Amsterdam.

Saat melepas celana dalamku pastinya Jono sudah melihat kalau kemaluanku sudah menegang dan dia hanya pura-pura tidak melihatnya saja. Dia meneruskan pijatannya masih di bagian yang sama sekitar tulang pantatku yang membuat tubuhku jadi oleng bergerak miring ke kiri dan ke kanan.

"Berbalik mas.." Jono memerintahkanku untuk berbalik.
Wah, berabe nih..pennyku kan sudah bangun. Aku tetap tidak berbalik sampai ketika Jono mengulangi lagi permintaannya maka sambil memejamkan mata aku membalikan badan. Namun sesungguhnya mataku tetap terpicing menyaksikan bagaiman reaksi Jono melihat keadaan tubuhku saat itu. Naked dengan penny menyeruak tegang dari rerimbunan pubicku yang berwarna jelaga.

Ternyata Jono tetap tidak peduli(?) dengan keadaanku saat itu. Ia tetap memijat dan mengurut. Dengan arah, tentu saja, yang sama dengan tahapan awal tadi. Saat tangannya mengusap bagian paha dalamku aku hanya bisa mendesah apalagi ketika pijatan tekanan pada titik diantara rectum dan scrotum dilakukannya semakin membuat ereksiku menjadi jadi. Namun tampaknya Jono sengaja menerapkan strategi up and down. Sehingga ia tidak memforsirku untuk tetap ereksi. Tentu saja, hal seperti ini malah menjadikan diriku blingsatan dan puyeng.

Sekarang tangan Jono sedang berputar-putar di bawah pusarku dengan sesekali meremas-remas pubicku, sementara tangan yang satunya mengusap-usap scrotum dan sesekali singgah di ass-hole ku.
"Alamak.." jeritku dalam hati;

Tangan Jono mengusap dan meremas dadaku dan jemarinya bermain cukup lama di nipple ku. Perlakuannya itu membuatku jadi hilang kesabaran dan dengan tiba-tiba kusentuh sesuatu yang tersembunyi di balik kain sarung Jono. Kami berdua sama-sama kaget. Ternyata Jono tidak memakai celana dalam dan saat itu kurasakan ia sudah ereksi juga. Tentu saja, akhirnya, dengan mudah aku dapat menggemgam keseluruhan batang kemaluan Jono yang mengeras. Jono tidak menepis tanganku; ia tersenyum ketika aku membuka mataku yang terpicing sejak tadi.

Kutarik dengan kuat pundak Jono sehingga wajahnya menjadi lebih dekat denganku. Dengan sigap segera kulahap bibir Jono yang kemudian dengan tidak kusangka-sangka ia malah membalas lebih liar daripadaku. Lidahnya menjulur-julur menyapu seluruh langit-langit mulutku serta memilin lidahku sehingga aku menjadi sulit bernafas.

Tanganku membetot kain sarung yang dikenakan hinga lepas. Dihadapaku tersaji pemandangan yang luar biasa indahnya. Betapa penny Jono dengan size 20 cm mengangguk-angguk di hadapanku. Aku berusaha meraihnya namun Jono tidak memberiku kesempatan, setelah melepas hem gombrong yang dikenakan ia kembali menggumuli diriku.

Dengus nafas Jono membuatku menjadi lupa segalanya. Kumisnya yang kasar memberikan sensasi tersendiri ketika diusap-usapkan di dada, ketiak, maupun leherku. Aku bagaikan kapal oleng yang diombang ambingkan oleh badai cinta. Aku hampir menjerit ketika dengan liarnya lidah Jono bermain (rimming) di area lubang pelepasanku yangs sejak tadi sebenarnya memang sudah sangat mengharapkan. Nikmatnya itu, membuatku lupa berpikir bahwa tindakannku menjerit akan mengundang orang-orang berdatangan melihat.

Aku meregangkan kedua pahaku serta mengganjal pantatku dengan bantal sehingga Jono menjadi lebih leluasa bergerak menelusuri lubang kenikmatan. Terasa jemari Jono sedang bermain di dalam lubangku, dari bermula satu jari, kemudian dua dan hingga tiga jari bergantian dengan sapuan lidahnya. Otot rectumku sudah dapat memberikan reaksi yang makin membuat Jono penasaran. Kulihat sesekali ia menjilat jemari yang sudah dimasukan ke dalam ass-hole.

Rupanya Jono memahami keinginanku yang terpendam, ia segera menyodorkan pennynya yang sudah ereksi itu ke arahku. Aku menyambutnya dengan suka cita. Aku membelai, mencium, dan melumatnya sampai aku tersedak. Sungguh seksi sekali penny Jono, meskipun panjang tapi diameternya tidak terlalu besar, sehingga aku yakin tidak akan membuatku kesakitan jika nanti dibenamkan ke dalam anusku.

Aku ingin juga membalas perlakuan Jono melakukan rimming kepadaku tadi maka kuminta Jono nungging. Aku takjub menyaksikan keindahan lubang anus Jono, betapa disekililingnya ditumbuhi pula oleh pubic yang menyebar sampai ke belakang pantatnya. Ku akui, memang, pubic Jono lebat, demikian pula dengan bulu ketiaknya yang tanpa artificial fragrance menebarkan aroma kejantanan pria. Dengan sedikit perjuangan menyeruak rerimbunan bulu pubic maka aku berhasil menemukan ass-hole Jono di tengah himpitan ke dua bongkah pantatnya yang gempal.

Ku hirup aroma anus yang khas dan segera kujilat-jilatkan lidahku di sekililing ass-hole nya. Jono melenguh dan mendesah. Kubuka lebih lebar lagi lubang anusnya sehingga lidahku berhasil mencapai dinding dalam rectumnya. Terasa badan Jono bergetar. Setelah melumuri jari tengah serta permukaan anal Jono dengan air liurku maka aku masukan jari tersebut untuk mencapai G spot Jono.

Dengan satu tanganku memasturbasi penny Jono maka satu tanganku lagi bermain di liang duburnya. Nafas Jono semakin memburu dengan bergetar Jono kemudian berkata
"Mas Resnu..sudah pakai penny penjenangan saja..aku sudah ndak tahan nih" Jono menyuruhku menghentikan tanganku bermain dilubang analnya. Ia memintaku melakukan penetrasi dengan pennyku. Tentu saja aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.

Ke dua siku Jono bertumpu di meja kecil dengan pantannya yang diasongkan ke arahku. Setelah menyibakan bulu-bulu yang menutupi lubang analnya, aku melumuri kembali rectum dan pennyku dengan air ludah. Lalu dengan perlahan ku tempelkan ujung glans ke dinding rectum yang sudah mulai merekah itu. Satu kali dorongan kepala pennyku sudah tertelan kemudian dengan sentakan yang kuat maka seluruh batang kemaluanku sudah berada di lubang kenikmatan.

Kurasakan suatu sensasi saat batang kemaluanku meluncur di rectum Jono. Denyut otot rectum Jono terasa mencengkeram seolah melakukan pengurutan terhadap pennyku. Rasa senut-senut nikmat mengaliri sekujur tubuhku. Jono menggoyangkan pantatnya dan aku merespon dengan mendorong maju mundur 6 kali serta menggesek-gesakan bulu pubicku ke pantatnya 1 kali, demikian berulang-ulang.

Dengus nafas Jono berpacu dengan desah nafasku yang juga memburu. Keringat kami sudah bersimbah dan liang anal Jono semakin terasa longgar dan licin. Sementara itu, Jono meminta berubah posisi sebab dia agak capek dengan bertumpu pada meja. Maka ia kini berbaring telentang di amben dengan ganjalan bantal di pantatnya. Kedua kakinya diletakan dipundakku sehingga lubang rectumnya terlihat nganga minta diinsert dan penny Jono terlihat bagai gada yang dibaringkan. Setelah melumuri kembali dengan air ludah maka kudorong kembali penny ku yang segera lenyap ditelan tubuh Jono.

Kami kembali menyebrangi lautan birahi sejenis. Aku merasa sudah hampir dekat dengan titik tujuan dan sekonyong-konyong Jono mencengkram bahuku dan mendorong hingga aku jatuh terlentang di tempat tidur dan sekarang Jono berada di atas tubuhku dengan masih menelan pennyku di dalam rectumnya.

Sekarang Jono yang aktif bergoyang salsa membuat diriku menjadi hingar bingar sampai tiba-tiba aku menggelinjang dan menggelepar memuntahkan cairan mani di dalam anus Jono. Ku rasakan denyut dan cengkeraman liang birahi Jono membuat diriku terbang tinggi. Jono tidak segera berdiri dari tubuhku sehingga pennyku masih tetap terbenam di rectumnya.

Setelah pennyku terasa tidak bangun lagi maka Jono bangkit dan pergi ke belakang mengambilkan aku air minum serta membawa handuk dan mengusap tubuhku yang bersimbah peluh. Pada saat yang sama aku masih melihat penny Jono tetap tegang seperti semula.

Melihat hal itu aku terangsang kembali dan aku jadi ngaceng lagi. Maka aku segera meraih penny Jono dan kemudian melumatnya di dalam mulutku. Ternyata tidak kuduga Jono ingin melakukan hal yang sama; setelah merubah posisi maka kami melakukan felatio dalam posisi 69. Berguling-gulingan dalam posisi demikian akhirnya membuat kami sampai pada saat penyelesaian yang bersamaan. Tidak ada setetespun air mani yang tercecer karena semuanya dimuntahkan dan langsung di telan.

Dua kali pertempuran itu cukup membuatku lelah dan mengantuk. Sehingga aku jadi sungguh-sungguh tertidur dan bermalam di rumah Jono. Ketika aku terbangun menjelang subuh itu bukan karena aku mendengar suara kokok ayam atau apapun tapi karena dinginnya suhu Yogya yang kutaksir 25-27 derajat celcius yang menyelusup dibalik selimut kain sarung Jono.

Ya ampun, ternyata kami berdua masih bugil. Kulirik Jono masih mendengkur. Aku sibakan perlahan kain sarung yang menutupi tubuh Jono. Terlihat penny Jono yang melingkar di atas rerimbunan jembutnya membuat diriku kemudian menjadi horny.

Dengan perlahan aku gesek-gesekan wajahku pada pubicnya serta kujilat-jilat glans dan batang kemaluannya; efek yang terlihat kemudian adalah penny Jono menjadi membesar. Semakin aku kulum dan kelamoti menjadikan penny itu berubah menjadi keras dan tegak.

Pemandangan yang luar biasa indah, apalagi tubuh Jono memang termasuk dalam kategori orang berbulu lebat. Bulu-bulunya bermula dari bawah pusar dan kemudian bergerombol di selangkangan sampai ke pantat Jono; yang lainnya menyebar ke paha dan kaki.

Jono masih tetap memejamkan mata(?) aku tak perduli ia mau melek atau merem yang kumau saat ini adalah ingin merasakan genjotan pennynya bermain di dalam rectumku. Aku merangsang rectumku dengan olesan air liurku supaya nanti tidak terlalu sakit saat penetrasi. Biasanya aku menggunakan vaginal lubricant (cairan pelumas) vagina merek KY atau Durex jika aku sedang bermain anal intercourse. Setidaknya itu masih lebih aman daripada aku menggunakan hand body yang biasanya malah membuat rasa panas di lubang analku. Untuk yang darurat air liur masih menjadi pilihan yang oke.

Dengan hati-hati aku berjongkok di atas selangkangan Jono dan mengarahkan kepala penny Jono yang sudah berdiri tegak ke lubang analku dan dengan sentakan yang agak kuat aku berhasil menelan penny Jono yang kemudian terjaga dari tidurnya. Meskipun sesungguhnya terlihat terkejut namun ia tidak marah. Ia tersenyum ke arahku dan kemudian ia malah mendorong-dorongkan pinggulnya ke atas sehingga makin membuat pennynya melesak masuk ke dalam liang anusku. Aku menjadi semakin melayang dan mulai kehilangan arah untuk bergoyang. Kenikmatan ini sedemikian hebatnya sehingga membuatku jadi lupa harus bagaimana.

Jono mencoba untuk duduk dengan meraih bahuku dan sambil memegang punggungku dan ia melumat bibirku dan mengisap lidahku.. Walau baru saja bangun tidur aku sudah tidak lagi menghiraukan aroma mulutnya kecuali kami saling berpagut, menggigit, dan melumat sambil, tentu saja, aku terus memompa penny Jono.

Ditelusuri leherku dengan gesekan kumisnya yang kasar dan digigit-gigit kecil puting susuku menjadi aku melenguh tak berkesudahan, sementara tangan Jono yang satunya memanjakan pennyku dengan melakukan massage pada batang dan kepala pennyku. Akupun tidak kalah gilanya meremas dan mencengkram tubuh Jono.Kuangkat lengan Jono kucium dan kugesekan wajahku di kelebatan bulu ketiak Jono yang menebarkan aroma jantan. Jono menggelinjang saat lidahku yang basah menyapu bawah lengannya itu. Olah raga pagi itu akhirnya mengantarkan kami pada satu kebersamaan yang penuh kenikmatan diiringi lenguhan dan desahan nafas penuh kepuasan.

"Cari oleh-oleh mas? Mari saya antarkan, ada bakpia.. atau kaos .."
Kembali sapaan ramah itu menyadarkanku bahwa dulu aku pernah bertemu seseorang bernama Jono. Aku hanya menggeleng dan terus bergegas berjalan menuju stasiun Tugu. Dengan membawa satu Hand Bag aku tidak begitu kesulitan menerobos orang yang berlalu lalang. Dari kejauhan kulihat kereta Taksaka telah menanti untuk membawa ku kembali ke dalam rutinitas kerja di Jakarta.

Tamat