Senjata makan tuan

Aku heran mengapa Arya tidak mau menerima cintaku padahal kami sudah dekat dan hampir saling tergantung, dan sampai detik ini aku tetap tak habis pikir kenapa dia menolakku, padahal aku memiliki hampir semua hal yang dia butuhkan untuk kesenangannya. Aku selalu membantu mengerjakan tugasnya, memberi fasilitas mengetik, aku jago main musik dan itu sangat mendukungnya setelah dia bersolo karir.

Aku juga tidak terlalu jelek, malah beberapa teman gay-ku mengatakan aku imut dan seksi. Tapi apa yang terjadi? Sejak aku menembaknya hari itu, dia menyumpahiku habis-habisan dan tak ingin melihatku lagi. Dia bilang tak ingin tertular jadi gay! Dia bahkan ingin membuang semuanya tentangku: pindah kost, pindah tempat kuliah, bahkan mengganti nomor handphone dan mengganti motornya, jadi aku akan kehilangan jejaknya.

Tapi apa sih yang tidak bisa kudapatkan? Sejak di Yogya aku mendapatkan banyak kemudahan karena keahlianku. Aku jago komputer, programmer, sehingga banyak orang yang jadi temanku karena kuperbaiki komputernya atau karena kubuatkan tugas pemrogramannya. Atau banyak anak-anak band yang sering memakaiku sebagai additional player. Termasuk di antara teman-temanku adalah orang-orang penting, orang-orang kaya, dan anak-anak dunia malam.

Dan setelah beberapa bulan aku dibuat patah hati olehnya dan tidak tau jejaknya, seorang temanku yang terkenal alot dan teliti berhasil mendapatkan berita tentang lokasi Arya yang baru, di kampung X, dekat kampusnya yang baru. Tidak sulit untuk menemukannya. Aku ke sana saat malam hari dengan seorang temanku dengan membawa apa saja yang kuperlukan. Tidak bisa mendapatkan cintanya, aku harus mendapatkan tubuhnya, adil kan?

Jam tanganku menunjukkan pukul 21:35 dan terlihat seseorang menutup pintu gerbang kontrakan yang agak keren itu. Lalu setelah lampu depan dimatikan, aku dan seorang temanku yang ahli dalam hal ini kemudian memanjat pagar dan mengendap menuju pintu kamar Arya. Setelah beberapa kali mengetuk, Arya membuka pintu dan betapa terkejutnya dia saat sesuatu mengenai kepalanya dengan telak, itu ulah temanku Doni.

Dia pingsan! Bagus! Level berapa pun dia di perguruan silatnya, ternyata dia tak berdaya menghadapai serangan mendadak dari Doni. Lalu kami menyeretnya ke dalam kamarnya. Aku memberi isyarat pada Doni yang lalu memborgol masing-masing dari kedua tangannya ke samping lalu mengikat kedua kakinya pada sisi-sisi tempat tidur.

"Udah Don, tugasmu selesai, makasih ya?"
"Santai aja lagi, kan kamu sering nolongin aku. Tapi kamu yakin nggak perlu bantuanku lagi?"
"Iya, aku jamin besok aku ketemu kamu dalam keadaan senang."
"Ya udah, aku pulang duluan ya?" Lalu Doni mengendap-endap untuk keluar dari lingkungan kontrakan itu dan kembali ke markasnya.

Aku tertawa dalam hati. Akhirnya kudapatkan tubuhmu. Siapa suruh kau menolakku? Lalu aku mengendorkan ikat pinggangnya dan membuka kancing bajunya. Kuraba-raba badannya sambil mulai kuciumi mukanya. Aku hanya mendesah-desah merasakan hal yang selama ini cuma jadi impianku. Tak lama kemudian, mungkin karena terganggu suara desahanku, akhirnya dia bangun dan kaget karena ada sebentuk wajah yang menempel pada wajahnya.

"Ooi.. Lepasin.. Beraninya cuman kalo kayak gini aja, pengecut!" Dia mencoba menarik kedua tangannya yang diborgol, juga kedua kakinya, tapi tidak bisa.
"Memangnya kenapa? Ayo, keluarin tenaga dalammu, dasar jagoan takut hantu!"
"Oouggh.. Ternyata kau! Dasar homo tak tahu malu! Aku akan hajar kau"
"Hajar aja kalo bisa"

Aku terus mencumbuinya. Kuperosotkan celananya lalu kubelai-belai pangkal pahanya. Sambil terus berusaha berontak, Arya cuma memejamkan mata sambil berpaling ke kiri, mungkin karena jijik. Lalu aku mulai meraih benda ajaibnya yang panjang dan besar. Kuelus-elus sampai akhirnya tegang juga. Dan dia tidak meronta lagi.

"Aku nggak nyangka, ternyata kamu bisa horny juga sama aku, kenapa dulu kamu tolak aku?"
"Diam!! Ooii.. Lepasin.. Ooi.. Tolong.."

Wah, gawat! Pikirku. Kalau sampai ada yang mendengar. Lalu kunyalakan radio yang ada di sebelah dengan volume yang kira-kira bisa mengelabui orang di luar, tetapi tidak terlalu berisik. Lalu kuganjal mulut Arya dengan mulutku.

"Apa, kamu bisa apa.."

Aku melepaskan baju dan celanaku. Aku terus mengelus-elus batangannya sampai dalam ketegangan maksimal, dan di luar dugaanku, dia mulai mendesah.

"Ouh, jangan.. Jangan.."
"Jangan apa? Jangan lepasin? OO, aku puasin kamu malam ini.."

Aku kocok batangannya beberapa lama sampai precumnya keluar, pertanda dia mulai dialiri nafsu. Kemudian kulepaskan tanganku. Dia terlihat kaget dan ingin protes, tetapi kemudian aku memerosotkan celananya lebih lebar dan, kumasukkan batangannya ke mulutku. Sambil Arya merasa keenakan, tanganku mulai mengelus-elus lubang pantatnya dan dia mengerang-erang karena kegelian.

"Kenapa? Enak ya? Nyesel nolak aku?" tanyaku sinis.
"Li, lepasin tanganku Li, please.."
"Untuk apa? Supaya kamu kabur?"
"Enggak Li, supaya aku bisa ngocok punyamu juga"
"Ah, alasan. Udah diam! Kalo mau bikin aku enak juga, nanti bakalan datang waktunya, nggak perlu pake tanganmu"
"Apa maksudmu?" dia bertanya dengan nada merinding.

Aku tidak mempedulikan lagi kata-katanya, aku terus mengelus-elus lubang pantatnya sambil sesekali memasukkan jariku. Pertama kelingking, lalu telunjuk, ibu jari, dan akhirnya dua jari sekaligus.

"Kamu gila ya? Mau nyodomi aku? Kuhajar kau besok!"
"Udah, tenang aja, nanti juga kamu ketagihan."

Aku melepaskan mulutku dari batangannya yang basah karena liurku, lalu mengocoknya perlahan-lahan dengan tanganku. Dia semakin mendesah-desah.

"Li, aku mau.." Aku cepat tanggap dan kulepaskan tanganku. Arya kaget.
"Kok dilepasin..?"
"Enak aja, mau orgasme sendirian? Emang dari dulu kau tuh pelit dan egois!"

Lalu aku meletakkan dua buah bantal di bawah tubuhnya sehingga tubuhnya agak terangkat ke atas, dan aku mendekap mulutnya dengan ban pinggang karatenya yang kudapatkan di gantungan. Aku mengubah posisiku sehingga dengan duduk melipat kaki aku bisa mengarahkan batanganku ke anusnya. Aku terus berusaha memasukkan batanganku ke lubangnya, sementara mukanya meringis menahan sakit sambil menggoyang-goyang badannya karena meronta.

"Udah, tenang aja, entar lagi kamu keenakan"

Lalu, bles! Masuklah semua batanganku yang memang sedikit kalah besar dari miliknya. Aku berhenti sejenak. Arya mengambil nafas agak panjang, lalu aku mulai menggesek-gesekkan batanganku di dalam anusnya. Wajahnya terlihat memelas, namun beberapa saat kemudian dia mulai ikut mendesah dengan mulut yang masih tersumpal.

Dia seperti ingin mengatakan sesuatu, sementara wajahnya merah dan mulutnya masih tersumpal. Akhirnya aku melepas bungkaman mulutnya, dan ternyata dia sedang menggumam sendirian, keenakan. Aku terus memaju-mundurkan senjataku dengan frekuensi normal, sementara wajah Arya terlihat semakin memerah.

"Ayo Li, lebih cepat lagi"

Aku mengacuhkan kata-katanya. Aku tidak mempercepat aksiku, sementara kulihat batangannya mengeluarkan semakin banyak precum. Rupanya dia sangat menikmatinya. Dengan posisiku masih menungganginya dengan duduk melipat kaki, aku mulai sambilanku menciumi dadanya, lehernya, telinganya, dan ia hanya bisa pasrah menanti saat klimaks datang.

"Li, aku nggak tahan lagi, kocokin juga donk punyaku, oh.."
"Udah, tenang aja, bisa diam nggak sih?"

Lalu sekitar lima menit kemudian, aku merasa akan klimaks. Kuhentikan rabaanku pada dadanya, tapi aku mekin ganas menciuminya. Kemudian, Crot! Crot! entah berapa kali spermaku muncrat di dalam anusnya. Badan Arya terus bergoyang-goyang karena belum klimaks. Aku tahu harus memberinya kesan yang mendalam agar dia tak lagi membenciku, bahkan jadi menerimaku.

"Oh, chayank, nggak tahan lagi ya? Sini kulepasin aja, biar kamu melakukan apa aja, terserah"

Aku melepaskan ikatannya karena yakin dia sedang diamuk nafsu. Dan benar, setelah ikatan kaki dan tangannya lepas, dia langsung menciumiku dengan ganas dengan berbagai gaya. Mungkin dia biasa melakukannya pada ceweknya. Aku agak sedih mengingatnya, tapi nafsuku jadi kambuh lagi karena gaya ciumannya terkesan jantan dan romantis.

Dengan agak kasar karena terburu-buru, dia membalik badanku lalu memasukkan batangannya ke anusku dengan paksa. Aku masih kesakitan walaupun beberapa kali aku pernah diperlakukan begitu. Tapi tidak lama, karena akhirnya semua batangannya masuk ke anusku, lalu dia mengganti gaya kami sehingga posisinya dia duduk dengan aku juga duduk di atasnya.

"Kamu nafsu lagi ya? Sini" Lalu sambil meneruskan aksinya, tangan kanannya meraih senjataku yang mulai bertuah lagi, lalu mengocoknya dengan ritme yang sama dengan tusukan-tusukan pedangnya.
"Oh, Li, aku mau keluar."
"Keluarin situ aja, aku juga mau keluar"
"Oh, Li, enak, oh.. Li, aku.."

Tubuh Arya mengejang lalu kurasakan beberapa tembakan benda kental di dalam anusku, dan Arya pun lemas dengan posisi yang belum berganti. Tangannya terus mengocok batanganku dengan sangat cepat, dan, crot! Crot! Aku orgasme lagi.

Setelah itu, dia menarik badanku sehingga batangannya terlepas, dan hasilnya kami berbaring bersisian. Aku memeluk badannya. Awalnya ia agak meronta, tapi aku tidak mau melepasnya sehingga dia diam saja. Pandangannya ke arah langit-langit dan seperti menyesal.

"Kamu menyesal ya? Mau hajar aku? Hajar aja! Aku udah dapat tubuhmu" kataku agak sinis karena yakin dia sudah telanjur keenakan.

Dia memandangku dengan tatapan tajam. Aku berdebar-debar menunggu reaksinya. Ternyata dia balas memelukku dengan sangat erat.

"Aku nggak mau pura-pura lagi, ternyata aku butuh kamu, dalam segala hal, aku sayang kamu, Li"
"Kalau tau bahwa kau akan luluh setelah kupuaskan, pasti aku akan memperkosamu dari dulu, hehe.." Dia melotot padaku, aku agak ngeri sambil melepaskan pelukan.
"Eh, tenang aja, aku benar-benar sayang, walaupun karena ini aku jadi, GAY!"

Dengan agak pahit dia mengucapkannya. Lalu dia berbalik dan mengambil handponenya di meja.

"Ali, kamu masih di kost deket warung itu? Berapa nomor handphonemu?" Wah, rupanya dia jadi luluh.
"Nomorku nggak kuganti kok" jawabku.
"Iya, tapi aku kan lupa, nomorku udah sering ganti" Lalu aku menyebutkan nomorku.
"Tau nggak? Sejak kamu nolak aku, aku benar-benar merasa nggak ada gunanya hidup. Tapi sekarang, aku.."
"Gimana rencanamu sekarang, mau nginap?" Arya memotong kata-kataku.
"Kalau boleh" jawabku.
"Kamu sendiri gimana? Kamu kan punya Erni, dia setia sekali, cantik lagi. Aku selalu cemburu sama dia" kataku.
"Udah, gimana kalo aku putusin dia, kamu seneng?"
"Sebenarnya nggak perlu segitu, asal kamu mau nyediain waktu buat aku, aku udah seneng kok"

Setelah lama diam, dia bicara lagi.

"Li, kamu mau kan nangani lagu-lagu baruku buat album besok?" Sambil menepuk pundaknya, aku menjawab.
"Iya lah, apa gunanya aku jadi sephiamu. Udah, pake tu baju!"
"Nggak ah, aku pengen anu lagi, kamu aja bisa dua kali"

Aku tertawa terbahak-bahak. Malam itu kami melakukannya berkali-kali dan kami hanya tidur beberapa jam karena jam 7 pagi dia mengantarku pulang ke kost. Sesampai di kostku, aku pamit mau mandi. Setelah itu, aku memakai deodoran lalu menyemprot badanku dengan parfum kesukaanku. Kulihat Arya cuma bengong.

"Kenapa Ya'?" aku bertanya dengan heran.
"Nggak kusangka ternyata wangi badanmu bikin aku terangsang lagi"

Lalu dia mengunci pintu kamarku dengan buru-buru lalu menciumi badanku yang hanya dibalut handuk. Aku jadi tegang sendiri. Dia melepas handukku lalu mengocok batanganku sambil mulai menciumi wajahku. Aku mengerang-erang keenakan. Aku sadar tentang situasi dan kondisi yang berlaku, lalu menyetel radio keras-keras. Arya menarikku lalu membantingku di kasur. Untung kostku sepi karena semua orang sudah pergi ke kampus atau bekerja. Arya melepasi pakaiannya lalu mulai menciumi dadaku, leherku, bahkan ketiakku diciuminya. Aku kegelian sambil mencari-cari senjatanya. Setelah kutemukan lalu kukocok pelan-pelan.

"Ya?"
"Hm? Ada apa? Mau ngomong sesuatu"
"Kamu pernah ngesex sama cewekmu?"
"Belum, kenapa?"
"Berarti belum nyobain 69 ya?" tanyaku lagi.
"Apaan tuh?" Lalu aku mengubah posisi sehingga saling berbalik. Aku mengulum batangannya.
"Kamu coba deh kulum punyaku juga, asyik loh"

Lalu kami saling mengulum. Setelah beberapa menit, dia membisikkan bahwa dia ingin menyodomiku lagi. Aku persilakan dia. Dia melihat minyak rambut yang ada di sebelah meja komputerku lalu mengoleskannya pada anusku, batanganku, dan batangannya sendiri. Setelah itu dia mengocok batanganku dengan mesra. Terasa lain karena kali ini memakai pelumas yang licin. Setelah dia yakin aku terbang ke alam antah berantah, dia langsung memasukkan senjatanya ke lubangku. Aku menjerit sebentar lalu mulai berubah jadi keenakan. Dia terus memaju-mundurkan senjatanya di anusku sedangkan aku mengocok milikku sendiri.

"Li, aku mau klimaks, oh.."

Aku juga mempercepat kocokan pada batanganku, dan saat dia menjerit, aku pun klimaks. Tanpa mencabut senjatanya, dia mencium keningku dengan manis.

"Kamu nggak pengen nyogok aku juga, li?"
"Nggak ah, kan aku udah klimaks juga. Lagian capek, dari tadi malam."

Lalu kami saling tersenyum dan saling mencium sampai kusuruh dia mandi diikuti olehku yang juga mandi di kamar mandi sebelahnya.

Setelah itu kami tidur di kamarku sampai siang dan dia kembali ke kontrakannya. Hari itu tidak satu pun dari kami yang pergi kuliah, maklum, sedang bernostalgila, eh, nostalgia.

Tamat