Sesama Pria
Monday, 21 December 2009
The sexual desire
Awalnya hanya ingin mencari angin di luar sana, tahu-tahunya malah muncul kesempatan mengambil sebuah baju kaos oblong di pasar 'cakar'. Teman-teman memanggilku dari balik seng yang disandarkan di dinding. Aku ikut saja karena di dalam 'geng'-ku hanya aku yang paling sering diperalat, disuruh-suruh, bahkan dikambing hitamkan. Seperti pada hari itu, hari dimana aku malah kena getahnya. Mereka menunjuki sebuah kios yang penjaganya lagi molor dan mendengkur keras.
Dani menarik telingaku dan berbisik, "Cepat! Kesempatan nih, ambil yang mana saja yang kamu bisa."
Setelah mendapat komando dari sang pemimpin, saya segera mengendap-endap dan mencolong baju kaos berwarna merah yang ada tulisan 'Graow! '-nya. Karena panik, saya segera berbalik dan malah menabrak ibu-ibu gendut yang membawa sekantong sayur-mayur. Brak! Semua barang bawaan ibu itu terbang ke angkasa lalu turun menghunjam bumi. Aku tak bisa mengelak setelah ada anak kecil berteriak "Maling!". Malang sekali aku sedangkan teman-temanku malah lari terbirit-birit dan tertawa-tawa.
Setelah dibekuk oleh seorang hansip, saya digiring ke kantor polisi guna pemeriksaan lebih lanjut (seperti buser saja). Sudah tentu wajahku tidak selamat, mata kiriku bengkak dan hidungku mengeluarkan darah, jalanku saja terpincang-pincang. Lalu setibanya di sana, porsi kemalangan ditambah lagi saat diinterogasi, saya dibentak, dimarahi, dihina dan dinasehati segala. Mungkin karena umurku yang terbilang remaja dan masih menginjak bangku sekolahan, jadinya si Pak polisi yang aku anggap kece tapi mengerikan kalo berwajah garang tadi mengguruiku. Akhirnya aku ditahan sampai orang tuaku datang menjamin dan menebusku. Sayangnya, orang tuaku terlalu cuek dengan anak-anaknya, kata mereka "Nanti juga dibebaskan, dan kalo bebas, palingan nanti masuk lagi."
Begitulah sekilas tentang diriku, saat ini saya sedang berjongkok di dalam ruangan yang gelap. Padahal, jam segini saya biasanya 'main' sama teman-teman. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, rasanya kami tidak 'main' seperti itu deh, tetapi mereka 'mempermainkan' aku. Karena biasanya, kalo saya minta dientot, mereka cuma beramai-ramai memperkosaku, tetapi mereka ogah diperlakukan sama. Jadi sampai saat ini, aku belum pernah merasakan seks yang sempurna. Kesimpulannya saja, saya selalu dipermainkan mereka.
Sebulan berlalu sejak kejadian kaos oblong itu, saya dibebaskan dan ditendang oleh petugas penjaga gerbang di kantor polisi itu. Sampai di rumah saya masih mengusap-usap pantatku karena kesakitan. Bapak hanya bertanya kalau saya ditahan dimana saat sampai di rumah, sedangkan Ibu malah menyuruhku pergi mencuri buah belimbing tetangga untuk dijadikan sayur buat makan malam. Grr! Kepala sudah sumpek, dibuat tambah sumpek lagi kalau berdiam diri di neraka ini. Bahkan saat saya berteriak, "Kalian semua brengsek!", panci besar melayang dan hampir menyambar kepalaku. Dasar manusia tidak berotak pikirku (padahal keluargaku sendiri).
Kususuri jalan setapak di belakang rumah, saya pergi mengunjungi tempat faforitku di kota ini, pusat pertokoan yang masih dalam pembangunan. Bukan pemandangan jalan atau bangunannya yang kusukai, tapi para pekerjanya yang seksi dan menggairahkan itu. Kadang ada yang bertelanjang dada, lalu mereka basah kuyup karena keringatan, dan lekuk-lekuk otot mereka yang membuat nafsuku bergejolak, bulu ketiak mereka yang menggiurkan, tambah lagi terkadang berdesir aroma maskulin mereka yang aku suka. Andaikan saja ada mesin yang bisa menghentikan waktu, aku ingin menyerang mereka dan menjilat seluruh keringat mereka. Kalo bisa sekalian saya isap kontol mereka dan mengentot pantat mereka yang aduhai seksi. Namun, itu semua hanya bayang semu belaka. Seks terintim yang kuimpikan hanya angan-angan belaka, sampai seterusnya aku hanya akan merasakan penderitaan karena diperkosa oleh bandit-bandit kecil yang sebetulnya adalah teman sekolah sendiri.
Setelah puas menikmati pemandangan itu, saya kembali ke markas menemui para pengkhianat yang dengan pengecutnya melarikan diri meninggalkan TKP yang mereka rancang sendiri (atau itu adalah salah satu jebakan mereka). Hanya satu orang yang ada di tempat yang menyerupai pos kamling itu, dia adalah Dani. Dani adalah temanku sejak duduk dibangku sekolah dasar, sekarang ia jangkung dan keseringan mabuk-mabukan (mungkin dia make obat juga). Tanpa sebab, Dani tertawa setelah melihatku datang ke arahnya.
"Wah, wah, kok baju 'merah'-nya tidak dipakai Fan? Masih dicuci yah? Ha.. ha.. ha.."
"Diam kau! Mana yang lain?"
"Trisno dimasukin ke pesantren sama bokapnya, kalo Anto masuk rumah sakit karena kecelakan motor." Jawabnya sambil nyengir.
"Rizal?" Tanyaku lagi
"Enggak tau.." Katanya sambil mengangkat bahu.
Sambil memijit-mijit pundakku, Dani berkata "Heh, besok ada Orkes di rumah Pak Sulaiman, kamu mau ikut lagi nggak?"
Mencium adanya niat busuk mereka lagi, segera kukatakan tidak.
"Ayolah, nanti kamu boleh entot pantatku kok." Rayunya sembari mengelus-elus daerah sensitifku. Terang saja aku kaget dan berbalik lalu berkata, "Kau tidak bohong kan?"
"Suer sambar geledek."
"Kalo begitu coba kamu mencium saya." Perintahku saat menatap tajam matanya yang bisa saja ada noktah kepalsuan yang tersirat.
Dani diam saja dan seketika itu dia malah kabur dan berteriak "Ogah!"
Ini penghinaan besar bagiku, andai saja saat itu aku punya pisau, akan kupeloroti celananya dan kupotong penisnya lalu kujadikan kalung seperti yang dilakukan si kanibal Sumanto. Apa anda berpikiran sama denganku, kalau tidak kasian deh gue. Sesampainya di rumah, saya langsung masuk kamar dan memelintir guling karena kesal. Kecewa juga setelah tahu mereka ternyata cuma mau mempermainkan aku. Dan setelah kejadian malam itu, kuputuskan untuk tidak bermain lagi dengan mereka, para bajingan tengik.
Sekarang saya punya tempat nangkring baru yang bisa dikatakan agak sehat (karena tidak mabuk), namanya anak Salahutung, nama itu diambil dari nama jalan tempat ngumpul mereka. Anaknya asik-asik, suka bercanda, tertawa dan ramah-ramah semua. Kegiatan mereka juga lumayan seru, setiap malam main gitar lalu nyanyi-nyanyi (biasanya cuma teriak dan bikin rese' tetangga), memberi makan nyamuk karena ngumpulnya di dekat kanal besar dan kotor, tapi kadangkala kami bikin party malam minggu atau acara organisasi masyarakat.
Di situ saya banyak mengenal kakak-kakak yang pintar dan berprestasi (jadi iri deh). Ada kakak yang namanya Anang, dia supel, tinggi, ramah dan cakep sekali. Diam-diam dia menjadi idolaku, tapi setelah tahu dia punya pacar, saya berhenti mengidolakannya, seringkali dibuat cemburu buta sih. Karena pada dasarnya Kak Anang tidak pilih-pilih teman, saya jadi senang berteman dengannya. Pernah sekali dia mengajakku bicara, saat itu aku gugup sekali melihatnya, karena saat itu dia seksi sekali dengan memakai baju kutang saja.
Setelah begitu banyak nama aku urut, tidak satupun yang meyakinkan. Aku terus berusaha mencari salah seorang diantara mereka yang mungkin ada yang butuh kehangatan seperti aku tapi hasilnya tetap saja nihil. Putus asa datang melanda, aku jadi kurang bersemangat lagi bergaul dengan anak Salahutung. Semenjak acara terakhir diselenggarakan yakni musik amal yang diadakan oleh anak Salahutung, saya mulai tidak aktif ikut mereka lagi, saya sudah bosan main kucing-kucingan alias berburu cowok gay (eh ndak nyambung yah? Sorry).
Tiba masa tiba akal, ada kesempatan ada kejahatan. Begitulah aku sewaktu bokapku lagi tidur pulas, ide itu tiba-tiba saja melintas dengan cepatnya. Bagaimana kalau aku menyewa seorang gay bayaran, mungkin itu bisa berhasil, uangnya nanti kucuri saja dari dompet bokap. Dengan bekal ilmu nyopet yang diberikan teman-temanku dulu, aku hanya berhasil meraup keuntungan eh maksudnya uang curian sebanyak dua puluh ribu doang. Itu karena waktunya kurang tepat, ini adalah tanggal tua, kas orang tua pada kosong melompong. Sudah tahu kenapa pake kasihan-kasihan segala pikirku. Pada dasarnya alasan yang klise mulai mencuat, "Saya terpaksa melakukan ini semua."
Malam itu juga, saya segera menelepon seorang gigolo yang berlevel cukup tingi dan tenar karena promosi mengenai dirinya bisa sampai ke telingaku. Kami ngobrol sebentar dan tiba-tiba dia minta bayaran diatas Lima ratus, mau pingsan aku mendengarnya. Lalu setelah tahu ternyata tarafnya segila itu, gagang telepon langsung kuletakkan kembali pada tempatnya. Aku rasa, cara yang satu ini tidak mungkin berhasil. Bayangkan! Saya cuma punya modal selembar uang berwarna hijau ingin menyewa seorang pria panggilan. Punna upa' kata orang Makassar.
Uang itu hampir saja aku jajani karena takut setelah tahu Bapakku sadar kalo uangnya hilang, tetapi tiba-tiba ide lain lagi melintas di dalam pikiranku saat aku sedang melakukan kegiatan rutinku memandangi para pekerja di pembangunan ruko itu. Idenya seperti ini: Bagaimana kalau salah satu dari para pekerja itu aku bayar untuk memerkosaku. (Ha.. ha.. ha.. aku memang penuh dengan ide-ide konyol) Walau terdengar bodoh dan cari penyakit, itu memang sudah kebiasaanku untuk mencoba sesuatu tanpa dipikirkan matang-matang terlebih dahulu.
Aku duduk lebih lama dari biasanya sampai hari menjelang petang, lalu semua pekerja mulai mempersiapkan diri untuk pulang. Mereka berjalan bergerombol, "wah gawat nih" pikirku. Aku tidak bisa menyapa salah satu dari mereka kalau mereka berbarengan seperti itu, aku juga masih punya malu. Tapi untungnya, seorang diantara mereka malah kembali ke dalam gedung, mungkin ada yang kelupaan seperti lupa memerkosaku misalnya (he.. he.. he.. ketawa lagi). Aku melompat dari tempatku duduk dan berlari menuju ke tempatnya. Rupanya pria tadi mengambil sebuah palu yang ia letakkan di atas kursi kayu kecil.
Dengan nyali yang ditabung sejak tadi aku menyapanya, "Hai.., emm.. Mas, ada perlu sebentar nih." tanyaku gemetaran.
"Ada perlu apa Dek?"
"Emm.. emm.. emm!" Gumamku geregetan.
"Ada apa Dek? Ada masalah?"
"Emm.. Mas entot aku dong, saya mau ngisap kontol Mas, mau ya.. mau ya Mas."
"Hah!?" Spontan ia kaget dan memundurkan kepalanya.
"Aku bayar kok, nih dua puluh ribu kontan." Kataku sambil memamerkan uang itu.
"Apa!?" Jawabnya lagi makin tercengang, kali ini alisnya naik satu dan bibirnya meliuk-liuk.
"Ayo dong Mas! saya butuh nih!"
Tanpa dikomandoi saya langsung saja membuka celana jeansnya dan menciumi CDnya yang berwarna putih dan agak kusam. Hmm.. wangi yang sudah lama kurindukan, kudambakan dan kuinginkan. Awalnya ia menolak tetapi setelah aku jilati penisnya yang masih lemah tapi sudah lumayan besar ia malah mengerang nikmat.
"Yes! Aku berhasil kali ini." Pikirku.
Selang beberapa detik, penisnya sudah mulai menegang dan membesar. Aku yang sudah tidak tahan ingin melihat penis orang dewasa untuk pertama kalinya segera menarik CDnya turun dan wow! Penisnya besar sekali, kira-kira 21 cm, hitam dan berbulu lebat. Walau pekerja ini tidak terlalu cakep, tapi tubuhnya itu sangat seksi dan berbentuk. Segera kukulum penisnya dan rasanya sangat hebat! Delicious! Fantastis! Gurih! Renyah! Eh..? Yang pasti lezat sekali. Apalagi air mani yang keluar sedikit demi sedikit di lubang kencingnya, sangat enak untuk dijilat. Tak kulewatkan kesempatan mengelus-elus tubuhnya yang indah itu, kuraba bagian dadanya, ketiaknya dan punggungnya, sangat lengket dan licin karena dia masih berkeringat.
"Oooh.. ooh.. ooh.., terus Dek, teruus teruus! Aaah!" Erangnya seperti main rodeo saja.
Akhirnya aku berhenti dan memintanya menggagahi pantatku, dia segera saja mengiyakan karena sudah terlanjur basah menerima tawaranku. Segera kutelanjangi diriku sendiri dan berdiri membelakanginya, lalu memamerkan ashhole-ku yang seksi. Betapa kagetnya aku ketika dia tanpa memberitahukanku kalau-kalau dia sudah siap menusuk, tiba-tiba saja dia langsung memaksakan masuk penisnya yang besarnya minta ampun itu ke dalam anusku. Sempat aku berteriak karena kesakitan, tapi aku tahu jikalau dia mulai memaju-mundurkan pantatnya, nikmat yang tak terkira akan bertamu ke dalam saraf-saraf yang ada di tubuhku.
"Ahh! Ahh! Ahh!" teriakku saat dia mulai memanjakan penisnya di dalam lubang kenikmatan yang kumiliki.
Baru kali ini aku merasakan hangatnya penis seorang lelaki yang memenuhi rongga anusku (bahkan ususku seakan tersodok-sodok). Aku tidak bisa memprediksikan stamina yang dimiliki pria ini, karena dia sudah bekerja keras seharian tapi masih kuat bermain selama lebih dari seperempat jam. Anusku menjadi sangat panas karena ia tanpa henti menyodokku sampai sudah lewat setengah jam. Penisnya mulai berdenyut hebat dalam rongga anusku. Sekitar sepuluh menit dia terus bermain dengan tempo yang cepat, aku sudah kewalahan dengan keperkasaannya, aku hanya bisa merintih antara merasakan nikmat yang sudah tidak bisa dibendung dan rasa sakit yang sedikit demi sedikit mulai berdatangan.
Kami tidak merubah pose permainan kami, masih terus memakai doggy style. Ia mulai menurunkan tempo permainan dan aku bisa sejenak mengatur nafasku yang sudah sedari tadi tersengal-sengal. Kemudian entah kekuatan apa yang ia miliki, tempo permainannya tiba-tiba ditambah lagi, kali ini dua kali lipat dari yang pertama.
"Akhh! Akhh! Akhh!" Sekarang aku bukannya mengerang nikmat tapi malah merintih kesakitan.
Sekarang aku betul-betul sedang diperkosa. Hampir satu jam dia mengentotku dalam tempo yang berubah-ubah, dan yang terakhir super cepat gerakan pantatnya.
"Aduuh! Aduuh! Aduuh!" Rintihanku diacuhkannya, dia malah terus mempercepat gerakan maju-mundur pantatnya.
Kalau dia tidak ereksi sekarang, aku bisa mati kesakitan. Tapi untung saja tenaganya sudah mulai terkuras, ia memperlambat gerakannya hingga menjadi gerakan 'pendinginan'. Dan secara tiba-tiba lagi dia mengerang keras dan menyemprotkan spermanya yang hangat ke dalam anusku. Crot! Crot! Crot! Entah berapa kali semprotannya tapi pasti sangat banyak karena spermanya tumpah ruah dan tidak sedikit yang malah keluar dari anusku. Saat ia mencabut penisnya, aku yang sangat ingin menikmati sperma lelaki segera menjilati sisa-sisa sperma yang keluar dari lubang kencingnya. Hhmm! Gurih dan lezat.
Keasikan diperkosa, kami tidak menyadari kalau hari sudah larut, disekitar kami sudah sangat gelap. Kami segera mengenakan pakaian masing-masing.
"Mas, terima kasih banyak yah. Saya cabut dulu."
"Dek, kapan-kapan main lagi yah, pantatnya enak sih."
"Ok Mas. Ini uangnya."
"Tidak ah, Mas ikhlas kok."
"Betul nih? wah, thank's lagi ya Mas."
Kemudian saya segera lari meninggalkan tempat itu, saya harus cepat sampai ke rumah, kalau tidak bisa-bisa saya digampar oleh Bapak dan Ibuku. Malangnya, dalam perjalanan pulang saya tersandung botol minuman dan jatuh terjengkang ke becek. Akhirnya sesampainya di rumah, omelan dan makian sama sekali tidak bisa dihindarkan.
Tamat