Pekanbaru night - Ronde kedua VS Deni

"Aku.. horny berat nih Bob.". Deni semakin mendekat sambil tangannya meremas-remas bahuku.
Aku yang juga sudah 'on' sejak tadi karena pengaruh kenanganku dengan Rudi tidak memberikan komentar lagi. Aku langsung mendekatkan wajahku dan melumat bibir Deni dengan lembut. Cuupp.. cripp.. crupp.. cipp.. Suara ciuman kami makin keras seiring dengan lumatan yang juga bertambah ganas. Kami lalu pindah ke lantai ruang kerjaku yang berkarpet hijau. Kami mulai saling meraba plus meremas-remas punggung dan pantat lawan. Aku terus memainkan lidahku di dalam mulut Deni dan saat kugelitik langit-langit mulutnya dengan ujung lidahku Deni agak menggeliat sambil meremas kuat punggungku.

"Hah.. ahh.. Aku pengen Bob.". Masih memelukku Deni mendesis setelah kami menghentikan aksi cium yang berlangsung cukup lama.
"Kerjain aku, Den..", aku bergumam lalu mulai melumat leher Deni hingga Deni mendongak dan tangannya meremas-remas rambut kepalaku.
Deni kemudian melepaskan pelukan. Tidak sabaran lagi Ia segera menelanjangiku lalu gilirannya yang melumat leherku hingga turun ke dadaku. Aku menggeliat sambil mendesah nikmat saat Deni memainkan putingku dengan sapuan lidahnya yang begitu hangat. Nafasnya terasa hangat mendengus menerpa dadaku mendatangkan sensasi nikmat tersendiri. Deni terus menyungsep ke daerah ketiakku yang bebas bulu dan menciumnya dengan nikmat, lalu lidahnya menari-nari di sana membuatku menggelinjang saking merasa geli karena rangsangan yang begitu kuatnya. Akhirnya aku terbaring pasrah sambil dengan sayu menatap Deni.
Deni menanggalkan kaosnya.

Otot dadanya yang besar bidang kelihatan bergerak-gerak seksi. Dengan agak tergesa Deni menanggalkan celana berikut CD hingga rudalnya mencuat bebas siap diluncurkan. Sukses bertelanjang ria Deni lalu membalikkan badanku yang sudah pasrah hingga terlungkup dan ia mulai menciumi punggungku dan terus menurun ke gundukan bukit pantatku. Disana lidah Deni terus 'hiking' menjelajahi lereng bukit sampai ke lembah-lembahnya menerobos hutan yang nyaris gundul karena terlalu sering ditebangi. Dengan semangatnya lidah Deni terus bertamasya di sekitar lobang hingga suatu ketika lidahnya itu terperosok ke dalam lubang yang membuatku terbeliak sambil mendesah nikmat oleh rontaan lidah Deni yang sepertinya ingin memanjat tepian lobang untuk keluar tapi gagal hingga terus menerobos masuk.

Puas ber 'hiking' ria Deni segera memasukkan 2 jarinya ke dalam anusku lalu menusuk sambil mengaduk di dalamnya yang membuatku mengencang-ngencangkan otot bukit pantatku. Mungkin karena gemas melihat bukit pantatku yang bergerak-gerak Deni menggigitnya hingga aku menjerit kecil karenanya. Deni segera membalikkan tubuhku hingga aku terbaring lagi menghadapnya. Ia lalu mengangkat tungkaiku dan meletakkannya di bahunya. Sambil bertumpu pada lutut dan lengannya Deni mengarahkan kontolnya dan.. bless.. kontolnya amblas masuk ke lobang pantatku. Ia lalu dengan gairahnya memompa kontolnya maju mundur sambil menatap wajahku dengan tatapan 'kehausan'. Saat itu dari stereo komputer kebetulan sedang mengalunkan house music yang berirama menghentak cepat seolah-olah menyatu dengan entotan Deni.

"Akh.. truss.. enak.. hmph.. oh.". Aku terus meracau nikmat sambil dengan gencar memainkan putingku sendiri.
Desahanku membuat sodokan Deni makin menggila hingga..
"Oh.. aku mau keluar.. Bob.". Deni mulai mengejang dengan entotan yang makin ganas saja.
"Ah.. oh.. truss.. Den.. truss.". Aku mengimbangi entotan Deni dengan eranganku yang keras dan..
"Aakh.. uh.". crroott.. crott.. Deni akhirnya klimaks didalam pantatku.
Tembakannya terasa menghangat didalam mendatangkan sensasi nikmat. Aku yang masih belum klimaks segera mengocok-ngocok kontol sendiri sambil terus mendesah-desah nikmat. Tidak membiarkanku asyik sendiri Deni yang sudah selesai menikmati sisa puncak kenikmatannya segera mengulum kontolku dan menyedotnya dengan kuat.

"Akh.. Aku pengen coba pantatmu Den.".
Ungkapan keinginanku disambut Deni dengan menungging hingga pantatnya menghadapku dengan lubang yang siap menerima gempuran.
Tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada aku segera mengarahkan kontolku dan mulai memasukkannya ke dalam pantat Deni.
"Sssh.. akh.". Deni agak mendesis saat kontolku menembus lubangnya hingga ke pangkal.
Aku lalu memeluk pinggang Deni dan mulai goyang dengan gerakan yang makin lama makin cepat.
"Oooh.. Bob.. ahh.. ssh.". Entotanku membuat Deni mendesah meracau nikmat.
Aku lalu menghempaskan pantatku ke lantai sambil membaringkan tubuhku. Karena kedua lenganku masih dengan kuat mengunci pinggul Deni sambil menusuk pantatnya dalam-dalam, gerakan menghempasku tadi membuat Deni hampir hilang keseimbangan dan hampir menimpaku yang sudah terbaring. Akhirnya posisiku berbaring dengan Deni yang duduk diatas pahaku membelakangi diriku. Kontolku masih menancap di kedalaman pantat Deni. Sepertinya ia mengerti mauku hingga mulai bergerak naik turun sambil mengencangkan otot duburnya memijati batang kontolku.

"Ahh.. yes.. enak Den.. oh.. trus.". Aku makin menggila oleh goyangan pantat Deni yang kadang diselingi dengan gerakan melingkar-lingkar.
Masih dalam posisi duduk Deni memutar posisinya hingga menghadapku. Ia lalu memainkan putingku dengan kedua tangannya sambil melanjutkan goyangannya yang membuatku hilang kesadaran dan.. crrott.. crett.. crott.. aku menembak tanpa sempat permisi lagi. Setiap tembakan membuat jiwaku seolah lepas melayang-layang sampai langit ke tujuh. Saat masih melayang nikmat samar-samar aku merasakan ada yang mengecup pipiku dengan mesra. Kubuka mataku dan kulihat wajah Deni yang sedang tersenyum lembut menatapku. Saat itu ia masih dalam posisi 'menduduki' aku.
"Terima kasih Den.. Kamu hebat sekali.". Aku segera memeluk Deni sambil berbisik di telinganya.
"Kamu juga Bob.". Deni juga berbisik di telingaku lalu mengecup keningku dengan lembutnya hingga membuatku melayang lagi.

Dengan perasaan puas yang mendalam aku melepas pelukanku lalu kami segera bangkit sambil masih terus saling tatap. Tiada kata yang terucap dari mulut kami karena tatapan kami sudah lebih dari cukup untuk menggambarkan sejuta rasa yang ada.
"Mandi lagi yuk.". Ajakanku disambut Deni dengan anggukan kepala.
Dengan bertelanjang ria kami lalu keluar dari ruang kerja dan masuk ke kamar mandi. Tanpa menutup pintunya kami mulai mengguyurkan air. Rasanya segar sekali. Suara TV yang tidak kumatikan terdengar sampai ke kamar mandi.
"Croott, gosok, bilas.". Saat itu terdengar 'jingle' iklan pembersih kamar mandi yang diperani oleh komedian Indonesia yang ngetop itu.
Mendengar nyanyian itu tiba-tiba saja aku merasa geli sekali hingga tertawa kecil sambil cengengesan sendiri. Aku merasa geli karena nyanyian itu terasa cocok sekali dengan kondisi aku dan Deni yang baru saja crott dan sedang gosok bilas.

"Ehh.. kok ketawa sendiri. Jangan-jangan kamu.". Deni tersenyum geli sambil menyilangkan satu telunjuk di dahinya.
"Hush.. nggaklah Den, aku cuma geli mendengar 'jingle' iklan TV"
"Hayo.. Apanya yang lucu?" Deni makin menggodaku.
"Itu lho.. crott gosok bilas.". Aku meniru jingle lagu sambil mengejang-ngejang seolah sedang 'crott' lalu menggosok dan mengguyur membilas tubuhku.
"Nggak lucu deh.. nggak lucu.". Mulutnya ngomong nggak lucu tapi Deni malah tertawa keras dan ikut-ikutan menyanyi sambil meniru gayaku. Suaranya ternyata empuk didengar.
"Terserah.. Yang penting tunjukin dong rasa loe.".
Aku menirukan kata-kata dalam iklan kopi yang membuat Deni makin terpingkal.
"Dasar.. TV maniac kamu.". Masih tertawa Deni menimpali candaku dan lalu mengguyurkan air ke mukaku.
Aku ikutan tertawa dan membalas guyuran Deni. Kami terus mandi sambil bercanda seperti dua orang anak kecil saja layaknya.
Selesai mandi dan mengeringkan badan dengan masih bertelanjang aku dan Deni kembali ke ruang kerjaku. Kami lalu memunguti pakaian kami yang tadi berceceran di lantai dan mengenakannya kembali.
"Ngobrol lagi yuk.". Deni kembali duduk di kursi di depan komputer sambil menggerakkan mouse klak-klik mencari lagu yang disukainya.
Sesaat kemudian lagunya Air Supply 'Lost in Love' mengalun lembut menghangatkan suasana. Aku duduk di kursi yang satunya lagi sambil sejenak menikmati alunan lagu yang memang sangat kusukai itu.

"Eh.. ceritamu tadi itu menarik lho.. Si Rudi beruntung lho bisa mendapatkan kamu.. Terus, apa Rudi terus-terusan bersikap seperti itu?" Deni memulai pembicaraan dengan memberikan komentarnya sekaligus pertanyaan terhadap ceritaku tadi.
"Dia tidak mendapatkan aku kok, Den".
"Kalau begitu, kamu yang mendapatkannya?" Deni tersenyum menggoda.
"Apalagi itu, nggaklah.. Nggak ada yang namanya saling mendapatkan" Jawabku serius.
"Jadi kalian memang nggak pernah mengulangi 'itu' lagi ya?" Deni agak mengernyitkan alisnya.
"Kalau mengulangi sih pernah, malah lebih intens lagi".
"Coba ceritain Bob.". Deni kelihatan semakin penasaran.
"OK, ceritanya begini.".

*****

Seperti yang kuceritakan tadi kalau saat jumpa di rental Rudi terus bersikap seolah-olah nggak terjadi apa-apa diantara kami. Dengan demikian aku juga cuek-cuek aja. Hingga pada suatu Minggu siang bel rumahku berbunyi. Aku benar-benar 'surprised' saat membuka pintu dan melihat siapa yang datang. Rudi berdiri di depanku masih dengan pakaian olahraga basketnya dengan wajah penuh senyum.
"Boleh masuk Mas?" Deni tersenyum sambil memperhatikanku yang masih bengong dan lupa mempersilahkannya masuk.
"Oh.. Eh.. ya.. Masuk Rud.". Aku agak salah tingkah.
Deni masuk dan setelah melepas sepatunya ia dengan cueknya duduk di sofa ruang tamu. Berbeda dengan kunjungan pertamanya kali ini ia sama sekali tidak canggung lagi.

"Benar-benar beda anak ini", batinku sambil memperhatikan ekspresi Rudi yang seperti biasanya sulit kutebak.
"Minum apa Rud?"
"Air putih saja deh Mas. Biar Rudi yang ambil sendiri saja ya?" Tanpa menunggu jawabanku Rudi bangkit dan beranjak ke dapur.
"Sekalian ambilin segelas untuk Mas ya..", pintaku sambil memperhatikan tubuh jangkung Rudi yang menghilang di balik pintu dapur.
Sesaat kemudian Rudi kembali sambil membawa 2 gelas air putih. Setelah meletakkan satu gelas di depanku Rudi lalu duduk sambil meneguk air di gelasnya dengan nikmat.

"Wah.. Mas nggak nyangka lho kalau kamu mau main lagi ke sini. Mas kira Rudi marah sama kelakuan Mas yang kemaren".
"Nggak kok Mas. Kan Rudi sudah bilang kalau Rudi nggak marah sama sekali".
"Kalau gitu kamu senang ya?" Aku tersenyum menggoda lalu pindah duduk di samping Rudi.
Rudi cuma tersenyum tidak menanggapi godaanku.
"Kamu baru dari tempat latihan basket ya?" Aku mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Nggak kok Mas. Ini cuma formalitas saja supaya dapat keluar. Dan iseng-iseng aku kemari Mas".
Kulihat Rudi agak tersipu malu. Sikap Rudi yang kadang sulit kutebak tapi juga kadang polos membuatku gemas, penasaran sekaligus simpati.

"Ooh.. Mas kira kamu kangen.. Suka sama Mas gitu.". Aku mencoba mengajak Rudi bercanda sambil mengenang hisapan mulut Rudi di kontolku pada waktu lalu.
"Rudi sudah punya pacar Mas". Rudi serius menanggapi candaku.
"Pasti cewekmu itu cantik sekali ya. Kamu harus jaga baik-baik lho". Mendengar kalau Rudi punya pacar aku mulai serius dan tidak bercanda lagi. Aku membayangkan kalau orang seganteng Rudi pasti punya pacar yang cantik sekali, berarti dia bukan gay dan kejadian kemaren denganku mungkin lebih disebabkan oleh spontanitas saja.
"Mas.., Rudi pengen tahu nih, apa Mas homo ya?" Bukannya ngobrol tentang pacarnya Rudi malah menanyakan hal lain.
"Memangnya kalau homo kenapa? Rudi nggak sudi berteman ya sama Mas?" Dengan lembut aku balik bertanya.
"Sama sekali nggak Mas.. Rudi senang kok temanan sama Mas.".
Rudi buru-buru menjawabku dengan sungguh-sungguh yang membuatku merasa senang sekaligus terharu sekali.
"Yaah.. Mas memang homo. Tapi Mas janji nggak akan berbuat 'itu' lagi sama Rudi. Rudi juga tolong lupain kejadian kemaren ya dan teruslah fokus ke pacar Rudi. Sekali lagi maafin Mas". Aku merasa menyesal juga dengan perbuatanku pada Rudi yang begitu polos, jujur dan menarik.
"Pacar Rudi cowok kok Mas.". Suara Rudi pelan sekali namun sangat jelas masuk ke dalam telingaku hingga aku benar-benar hampir terlonjak saking terkejutnya.
"Jangan bercanda ah.". Suaraku agak keras karena keterkejutanku yang belum hilang.
"Rudi sudah jadian sama dia beberapa bulan yang lalu. Aku sangat cinta padanya Mas. Cuma sepertinya terlalu banyak halangan. Aku benar-benar stress. Tolong aku Mas.". Mata Rudi mulai memerah. Diluar dugaanku ia memelukku dan mulai menangis di dadaku persis seperti anak kecil.
"Cinta."..Aku menggumam masygul sambil menepuk-nepuk punggung Rudi. Aku diam saja dan membiarkan Rudi menangis sepuasnya membasahi bagian dada kaosku dengan air matanya.

Puas menangis Rudi melepaskan pelukannya lalu segera mengelap sisa air mata yang ada di pipinya.
"Sorry ya Mas. Rudi cengeng nih.". Rudi tersenyum dengan mata yang masih merah yang membuatku serasa ingin memeluknya dan membisikkan sejuta rasa simpatiku padanya.
Lalu Rudi mulai curhat padaku yang aku dengar dengan penuh perhatian. Saat curhat barulah aku merasakan kedewasaan Rudi yang mungkin ditempa oleh penderitaan batin yang dialaminya selama ini. Namun dibalik kedewasaannya Rudi tetap hanyalah seorang anak yang polos dan jujur.

Rupanya Rudi telah memiliki pacar cowok jauh sebelum pertemuannya denganku. Ia sudah lama menyadari kalau ia suka pada sesama jenis hingga timbul perasaan bersalah dan tertekan pada dirinya. Berbagai usaha telah dilakukannya untuk dapat suka pada lawan jenis. Diantaranya dengan memacari teman cewek satu sekolah. Namun apa daya Rudi tidak bisa mengingkari nuraninya yang terus memberontak hingga akhirnya ia bertemu dengan seorang cowok sebayanya dan akhirnya saling janji untuk setia. Cerita Rudi membuatku teringat dengan perasaanku dulu saat seusia dengan Rudi. Mungkin kaum gay memang memiliki nasib yang lebih kurang sama di dunia yang serba kejam ini.
"Terima kasih Mas.. Beban Rudi agak berkurang sekarang". Rudi kelihatan lega setelah mengeluarkan beban hatinya.
"Jadi apa Rudi akan mempertahankan hubungan dengan cowok Rudi?" Hanya pertanyaan itu saja yang terlontar dari mulutku saat itu.
"Iya Mas. Rudi sudah terlanjur cinta.".

Saat itu ingin rasanya aku menasehati Rudi agar jangan ada cinta di hatinya terhadap sesama jenis jika tidak ingin terluka, namun aku sama sekali tidak sanggup melakukannya. Apalagi saat melihat sinar ketegaran yang terpancar dari bola mata Rudi. Aku tahu Rudi tidak dapat menolak sifat gay sama seperti halnya aku.
"Apa orang tuamu tahu Rud..?"
"Kurasa nggak Mas. Aku nggak bisa bayangin kalau seandainya mereka tahu. Mereka itu sangat fanatik Mas". Aku dapat membayangkan ketakutan Rudi yang juga kualami dulu.
"Apa Mas pernah jatuh cinta?" Tiba-tiba saja Rudi memberikan pertanyaan yang sangat susah kutemukan jawabannya.
"Jatuh cinta? Mungkin pernah Rud.. Tapi yang jelas Mas nggak pernah memberi pernyataan cinta pada siapapun hingga Mas nggak pernah punya yang namanya pacar atau semacamnya", jawabku jujur.
"Masak sih.. Mas ini rugi deh masak ganteng-ganteng nggak punya pacar.". Rudi mulai ceria kembali.
"Iya deh.. iya.. kalau gitu Rudi aja yang jadi pacar Mas.". Aku menimpali canda Rudi dengan menggodanya.
"Eit.. stop.. Rudi kan sudah punya pacar.". Rudi memasang tampang emoh yang membuatku gemas.
"Setia ni yee.". aku meniru kata-kata dalam iklan TV yang membuat Rudi tertawa-tawa oleh banyolanku.
"Mas ke WC dulu ya Rud.. Sakit perut nih. Kamu nonton TV aja dulu, ada acara bagus tuh..", kataku sambil memegang perutku yang tiba-tiba saja melilit.
Rudi menggangguk kecil sambil tersenyum memperhatikanku. Kira-kira 15 menit kemudian aku selesai melepas hajat dan keluar dari WC. Aku tidak melihat Rudi di ruang tamu. TV ruang tamu juga sedang dalam keadaan off.
"Mungkin lagi istirahat di kamar", batinku sambil langsung menuju kamarku yang tidak pernah aku tutup di siang hari.

Tamat