Lembar baru yang pahit

Benarlah kata orang kalau sesungguhnya kenangan itu suatu hal yang sangat mengesankan boleh dibilang suatu pengalaman yang tak terlupakan terlebih lagi kalau pengalaman itu bisa terulang kembali tapi, apakah itu selalu benar?, ternyata tidak selamanya seperti itulah yang aku alami. Jauh dari lubuk hatiku aku sangat tersiksa kubuang jauh-jauh kenangan itu kucoba membuka lembaran baru tapi apa dayaku ternyata kenangan itu bisa melahirkan lembaran baru yang pahit.

Kenangan bersama pamanku (baca: Bercinta Dengan Paman Sendiri) benar-benar suatu pengalaman yang takkan terlupakan, tapi setelah saya beranjak dewasa, saya merasa saatnya saya untuk mengubur kenangan itu dan usaha saya boleh dibilang hampir berhasil setelah melewati masa SMP dan SMU saya hampir yakin kalau saya bukanlah orang yang termasuk dalam kaum minoritas itu, boleh dibilang di masa yang kritis itu begitu banyak godaan yang bisa saja menjerumuskan saya setiap saat, tapi keinginan yang bulat untuk melepaskan diri dari jati diri yang semu ini menjadi benteng penghalang semua rintangan tersebut.

Saya juga sempat berpacaran dengan beberapa gadis sebagai usaha untuk melepaskanku dari belenggu jiwa yang selama ini terus membayangiku, kenangan itu benar-benar melekat kuat ibaratnya akar yang telah menyatu dengan batang pohonnya sehingga semua hubunganku yang sempat saya bina itu semuanya berakhir dengan perpisahan, kendati demikian aku tidak pernah menyerah kemauanku sangat keras berbagai macam usaha yang saya lakukan sampai akhirnya aku menyerah juga dan jatuh kepelukan seseorang yang baru saja kukenal dan disitulah aku baru menemukan kalau diriku sesungguhnya adalah bagian dari kaum minoritas itu.

Di kampus saya orangnya supel dalam bergaul hanya saja saya sedikit pilih-pilih apabila mencari teman soalnya saya mencari orang-orang yang baik tapi saya tidak melihat dari segi status, apakah mereka miskin atau kaya yang penting anaknya easy going aja udah cukup. Teman-teman juga senang kepada saya katanya saya ini orangnya menyenangkan dan keberadaan saya seperti itu sangat saya nikmati tanpa ada beban.

Hari itu benar-benar melelahkan, jadwal kuliah padat banget, belum lagi istirahat pada malam harinya harus berkurang karena tugas-tugas dari dosen, mau gimana lagi sebagai mahasiswa yang ingin berhasil semuanya harus diikuti dengan kesabaran hati apalagi saya ini masih berstatus mahasiswa baru saat itu. Tak jarang saya harus nginap di rumah teman apabila ada tugas maklum saya terbiasa dengan kerja kelompok selain hasilnya lebih bagus kadang banyak ide yang muncul apalagi kalau belajarnya bareng asal jangan ngerumpi aja, sekali-kali boleh sih..

Seperti biasa saya ke rumah Andi, saya juga mengajak salah seorang teman saya Ridho, tugas yang diberikan dosen waktu itu sangat sulit makanya aku putuskan untuk mengerjakannya bareng teman-teman. Kami baru selesai mengerjakan tugas itu pukul 23.00. Sebenarnya malam itu saya punya keinginan untuk menginap di rumah Andi, tapi Ridho menolak katanya ini belum terlalu malam terpaksa dech saya pulang malam itu.

Malam itu saya berkeinginan naik taksi dengan alasan malam-malam begini kadang rawan apalagi kalau naik transportasi umum seperti pete-pete (nama transportasi umum di makassar), tapi Ridho berkeinginan lain terpaksa saya mengalah lagi. Akhirnya kami naik pete-pete yang di dalamnya ada beberapa orang saya langsung duduk didekat pintu keluar sedangkan Ridho disebelahku, sejak dari naik mobil tersebut saya merasa ada yang memperhatikan saya, kucoba mencari dari mana datangnya tatapan itu dan astaga tatapan itu tepat dihadapanku, saya jadi salah tingkah sekilas orangnya cukup ganteng, putih, bersih, tubuhnya proporsional tapi aku berusaha mengabaikan pandangan itu maklum bukan dia aja yang pernah memandangku seperti itu banyak juga tapi aku saja yang selalu menghindar maklum saya khan sudah berkomitmen untuk tidak terjebak dalam dunia seperti itu kedengarannya munafik memang tapi itulah kenyataan hidupku yang pernah saya alami.

Karena tatapannya yang sangat serius terhadapku dia tidak sadar kalau temanku Ridho tentu saja keheranan, sambil berbisik Ridho berkata, "Chris, kamu gak sadar yach, kalau orang itu dari tadi memperhatikanmu".
"Iya, gak tau nich, mudah-mudahan bukan orang jahat aja" bisikku pelan.

Meskipun aku tau sebenarnya jenis tatapan itu namun aku tidak mau Ridho berkomentar macam-macam. Rumah Ridho tidak begitu jauh dari rumah Andi hanya makan waktu beberapa menit saja.

"Aku duluan Chris, hati-hati yach" kali ini Ridho tidak berbisik seperti sengaja ingin memperdengarkan orang tadi bahwa gelagatnya udah diketahui. Aku hanya tersenyum memandangi temanku turun dari pete-pete.
"Saya yang bayar pak!" potongku sebelum Ridho mengeluarkan uang dari kantongnya.
"Makasich Chris!" teriak ridho karena mobil sudah jalan.

Aku memberanikan diri lagi kucoba mencuri pandang dan ternyata sorot mata itu seolah-olah ingin menelanku hidup-hidup ketika mataku beradu pandangan dengan matanya sebaris gigi putih tampak dari bibir yang tersenyum merona khas warna bibir yang segar, segera kubuang jauh-jauh wajahku seolah-olah aku kelihatan kesal dengan baru saja yang diperbuat aku memperhatikan sekelilingku takut kejadian tadi ada yang melihat, supir asyik menjalankan mobilnya dengan santai sedangkan seorang bapak tertidur di pojok belakang mobil, "Untunglah" gumamku dalam hati.

Sekitar 20 menit mobil itu melaju akhirnya sampailah aku di depan tempat kostku, segera saja kubayar lalu meninggalkan pria tersebut yang tak henti-hentinya memandangiku. Aku mencoba meraba kantong celanaku untuk mencari kunci rumah, di tempat kostku setiap penghuni punya 2 kunci yakni kunci rumah dan kunci kamar masing-masing dan kami juga tidak terikat peraturan, yang penting saling mengerti aja satu sama lain.

Alangkah kagetnya aku sebelum melangkahkan kakiku masuk.
"Hai, Chris..".
Aku benar-benar kaget, segera kutolehkan mukaku dan ohh.. my Godness.
"Ka.. ka.. kamu, mau apa? jawabku terbata-bata. Ternyata pria itu, pria yang dari tadi menperhatikanku di mobil tiba-tiba saja ada di depanku.
"Maaf saya mengagetkanmu, saya hanya ingin berkenalan denganmu". Masih dengan senyumnya dia mencoba meyakinkan aku kalau dia sebenarnya tidak bermaksud jahat.
"Maaf ini sudah larut malam lain kali aja" tegasku sambil memutar tubuhku untuk masuk ke dalam rumah.
"Ada nomor telpon gak, besok saya telpon" pintanya sopan.
Aku sedikit jengkel juga tapi terpaksa dech saya kasih, kali ini saya benar-benar memutar tubuh dan melangkahkan kakiku masuk ke rumah saya tidak lagi memperhatikannya pintupun kukunci.

Aku tidak langsung masuk ke kamar, aku ke ruang tamu nonton TV, bayangan orang itu benar-benar tidak bisa hilang dari ingatanku, kalau dipikir-pikir sebenarnya aku senang juga tapi kembali aku mengingatkan diriku untuk berhati-hati. Semalaman aku tidak bisa tidur perasaanku berkecamuk untunglah besoknya tidak ada ujian dari dosen jadi aku tidak kelabakan jadinya.

Besok malamnya pesawat telepon berdering tak terpikir olehku kalau yang menelpon dia. "Chris ada telpon" teriak Mas Anto salah seorang teman kostku yang sudah kerja, kebetulan yang kost di sana semuanya adalah orang kantoran kecuali aku yang masih berstatus mahasiswa dan boleh dibilang yang paling muda diantara mereka.

"Aku Adi yang tadi malam ketemu di pete-pete" katanya sopan.
"Oh kamu, ada apa!" jawabku ketus.
"Chris aku mau bilang sejak pertama aku melihatmu, aku tidak bisa membohongi kata hatiku kalau aku suka banget ama kamu. A.. aku cinta kamu Chris".

Aku tidak bisa berkata apa-apa selain menutup telpon tersebut, sampai-sampai Mas Anto terheran-heran melihat tingkahku tapi dia tidak berkomentar atas peristiwa tersebut sambil tetap membaca koran di ruang tamu.

Semenjak itu dia sering mengunjungiku hampir tiga kali seminggu juga menelpon tapi kadang aku masih cuek aja kepadanya kadang perkatannya saya balas dengan nada mengumpet dengan maksud menyuruh dia agar cepat angkat kaki dari kamar saya, tapi dia ternyata tipe orang yang tidak cepat marah kelihatannya orangnya sangat sabar. Pernah suatu kali saya marah dan jengkel sama dia, saya mengeluarkan kata-kata yang sedikit kasar dan disertai ancaman, sejak saat itulah komunikasi antara aku dan dia terputus sudah hampir seminggu tidak ada kabar dan telpon darinya. Sekali lagi aku tidak bisa membohongi kata hatiku kalau sebenarnya aku senang bisa berada di sisinya hanya aja aku ingat komitmenku makanya sebisa mungkin saya menghindar darinya.

Sampai suatu malam dia menelponku katanya dia minta maaf, dia kangen sama aku, takut dia pergi untuk kedua kalinya akupun memaafkannya. Seperti biasanya dia datang ke tempat kostku kadang membawa sesuatu untuk cemilan, tapi malam ini dia datang dengan sedikit beda dibanding biasanya. Dia datang dengan sebuah kado dan dandanan yang sedikit lebih rapi seperti mau ngedate aja. Malam itu dia mengutarakan semua isi hatinya kepadaku, alunan musik romantis dari sebuah tape membuat kami sepertinya sedang berkencang beneran. Sedikit demi sedikit gelagatnya makin aneh, semakin genit saja, pandangannya tajam menembus mataku. Aku berusaha menghindar dari pandangannya tapi tetap saja dia lakukan.

"Apa-apaan sich kamu" tanyaku ketus. Padahal dalam hatiku sebenarnya aku senang karena aku dimanjain hanya saja saya tidak terbiasa dengan sesama jenis jadi saya kelihatan malu-malu. Umur Mas Adi memang sedikit jauh diatas saya yakni 30 tahun sedang saya waktu itu 18 tahun, dia bersifat dewasa sedang aku kadang kekanak-kanakan.
"Enggak kok, aku cuma liatin kamu enggak boleh yach" rayunya sambil membelai pipiku.
"Dasar bodoh" jawabku tegas lalu menjauh darinya.

Saya berbaring di tempat tidur sambil memasang walkman dengan volume yang kencang dengan maksud dia tidak mengoceh lagi karena percuma dia ngoceh, toh aku juga tidak dengar. Mas Adi bener-bener gila semakin aku menolak semakin liar dia, kali ini dia menerjangku sambil mencipok pipiku karuan aja aku marah segera kutendang dia hingga hampir jatuh dari tempat tidur. Edan Mas Adi hanya tersenyum kali ini dia lebih gila masih di atas tempat tidur dengan posisi berdiri dia membuka bajunya satu persatu sehingga tampaklah dada yang bidang dan perut yang terbentuk sangat atletis. Aku menelan air liurku menyaksikan pemandangan yang indah itu bagaimana tidak sosok Adi didepanku dalam keadaan hampir telanjang, tinggal sebuah underpants saja berwarna putih itupun jelas terlihat adiknya yang meronta ingin keluar. Sejenak aku terdiam dadaku berdegup nafasku mulai tak beraturan, benar virus birahi itu telah menghinggapiku.

Kali ini dia menerjangku kedua tanganyanya telah mengantisipasi kedua tanganku begitupula kakinya agar nantinya aku tidak meronta, aku tetap berusaha meronta ukuran tubuhku memang tidak sebanding dengan dia, aku orangnya sedikit mungil, bibirnya langsung mendarat di bibirku kakiku ikut meronta, namun setelah lidahnya menyapu semua rongga mulutku aku mulai menikmatinya akhirnya aku pasrah akupun mulai menikmati mengikuti hasrat seksku yang meronta-ronta untuk disalurkan terhadap sesama jenis setelah kenangan dengan pamanku kucoba untuk kuhapus.

Sambil melumat bibirku tangannya yang lain mulai membuka bajuku dan kini ciumannya turun dan menjalar ke daerah leherku, Mas Adi menyedot leherku dalam-dalam sehingga menimbulkan tanda merah dileherku segera aja kugampar kepalanya.
"Jangan dikasi tanda" gerutuku tidak jelas.
"Sorry" jawabnya berbisik.

Nafas Mas Adi semakin memburu kini lidahnya menari nari di atas dadaku mencari kedua bukit kecilku dan ketika ujung lidahnya menyentuh puting susuku, aku mendesah hebat, Mas Adi benar-benar sangat berpengalaman. Mas Adi menghentikan jilatannya kali ini dia menatapku sambil berkata "Kubuka yach" sambil melirik ke celanaku.

"Jangan" segera kusambut pernyataan itu sembari menggelengkan kepalaku, aku memang tidak ingin berbuat terlalu jauh. Mas Adi sepertinya tidak memperhatikanku dipelorotinya celana panjangku dengan paksa, aku tidak bisa berbuat apa-apa aku cuma pasrah. Kembali lidahnya menari diatas gundukanku yang masih terbalut sebuah underpants biru kali ini giginya juga ikut andil dengan menggigit kecil penisku, aku cuma bisa menutup mata anganku melayang sedang kedua tanganku meremas ujung bantal dibawah kepalaku.

Tangannya merogoh masuk ke dalam CD-ku diraihnya penisku yang sudah tegang dari tadi akibat pasokan aliran darah yang mengalir cepat lalu dipelorotinya juga celana dalamku sehingga aku kini benar-benar dalam keadaan bugil.

"Nice dick" katanya sambil tersenyum sembari tangannya mengocok penisku. Aku tidak tahan segera kujambak rambutnya lalu kuarahkan kepalanya ke arah rudalku yang siap melesat, rudal tersebutpun amblas dalam rongga mulutnya, sedotannya, jilatannya, emutannya benar-benar membuatku bergelinjangan kini mulutnya naik turun dipenisku, sensasi yang kurasakan tiada terkira sejenak aku teringat kenangan itu, yach benar kenangan itu terulang lagi, sangat indah, aku benar-benar lupa dengan komitmenku. Akupun tak membuang kesempatan tanganku juga mencari penis Mas Adi yang dari tadi membengkak dibantu dengan goyangan pinggul Mas Adi celana dalam itupun lorot, kupegang dan kukocok benda yang lumayan besar itu.

Mulutnya kini menyisiri batang kemaluanku dijilatnya dengan lembut hampir tiap gerakan yang diberikan mulai terasa kelembutannya beda dengan awalnya yang sedikit kasar hal ini dimungkinkan karena aku juga sudah meresponnya dengan senang hati, tak lupa jambutnya pun juga dijilatinya lalu turun ke testisku, ahh sapuan lidahnya membuatku berdesah sambut menyambut, tangan kanannya masih mengocok batang penisku sedang tangan satunya berusaha membelah bongkahan pantatku mencari lubang keperjakaanku untuk di rangsangnya.

"Achh, Mas Adi aku mau keluar"
"Ok sayang, aku menantinya kok" jawabnya sembari mempercepat kocokannya dan membuka lebar-lebar mulutnya agar spermaku bisa masuk ke dalam rongga mulutnya dan "Crot.. crot.. crot" aku memekik tertahan, muncratlah lava putihku tepat masuk ke dalam kerongkongan Mas Adi. Mas Adi segera mengubah posisinya sekarang kami dalam posisi 69, Mas Adi menjilati penisku dengan sisa-sia spermanya sedang saya menghisap penis Mas Adi.

Aku mulai sedikit lemas, lalu Mas Adi mengubah posisi lagi kali ini dia menyuruhku menjepit penisnya dengan kedua selangkangan pahaku sambil mulutnya melumat habis mulutku, pinggulnya naik turun awalnya pelan sering dengan irama nafasnya yang semakin cepat genjotannyapun semakin dipercepat dan..

"Achh.. yeahh.. ahh" Mas Adi mendesah lalu disusul semburan lava putih membasahi dadaku sedang sisanya berceceran didaerah penisku. Mas Adi menjilati spermanya sendiri yang ada di atas dadaku dan kembali aku merasakan sensasi yang hebat saat lidahnya bermain menghisap sperma yang ada di daerah penisku. Mas Adipun terkulai lemas.
Masih dalam keadaan bugil ia mengambil kado yang tadi diletakkan di atas meja lalu membukanya, isinya sebuah kalung perak yang berlionting tanda cinta itu, kemudian berbisik pelan, "Aku mencintaimu" sambil mengecup keningku.
Aku terdiam tak terasa air mataku menetes aku senang tapi aku juga sedih karena aku telah membuktikan diriku bahwa aku bukanlah lelaki normal aku telah melanggar komitmentku.
"Ada apa, kok kamu menangis?" tanya Mas Adi.
Aku hanya tersenyum sambil memeluknya erat seolah tak ingin melepaskannya. Aku merasa bersalah malam itu tapi aku juga senang.

Hubunganku dengan Mas Adi tidak berlangsung lama karena belakangan aku tau kalau ternyata Mas Adi bukanlah sebuah karyawan sebuah bank tapi Mas Adi bekerja sebagai pemuas nafsu sesama laki-laki untuk itu tentunya dia dapat bayaran sejumlah uang sebagai imbalannya. Kenyataan itu sungguh pahit buatku aku membayangkan kalau hampir tiap malam dia melakukannya dengan sejumlah pria, padahal aku menginginkan sebuah hubungan yang berkelanjutan dan harmonis. Akhirnya akupun pisah sebelumnya aku telah memberinya kesempatan untuk meninggalkan pekerjaan dan menawarinya kerja disebuah perusahaan pamanku tidak besar sich tapi kebetulan saat itu pamanku butuh tenaga kerja yang bisa membantunya dalam bidang pembukuan dan saya tahu betul kalo Mas Adi punya kemampuan dalam hal itu tapi ternyata Mas Adi lebih memilih pekerjaannya itu, meskipun berkali-kali dia bilang mencintaiku dan hatinya hanya untukku tapi aku tetap tidak bisa melanjutkan hubungan itu. Di saat aku ingin memulai lembaran baru ternyata kepahitan juga yang kudapatkan.

Penyesalan selalu datang terlambat, tapi mau apa lagi. Aku sendiri yang mulai bermain api akhirnya aku terbakar juga begitulah barangkali ungkapan yang cocok untukku atau ibarat sudah jatuh tertimpa tangga lagi, sudah jatuh ke dunia hitam itu patah hati lagi. Aku sudah tidak bisa bohong lagi aku adalah salah satu kaum minoritas itu kaum gay yang selama ini selalu menghantuiku kini benar sudah. Aku hanya berharap di kemudian hari aku bisa bertemu dengan orang yang lebih memahami diriku dan aku juga berharap agar pintu hatiku masih bisa terketuk sehingga aku tidak larut dalam kebimbangan yang menciptakan jalan yang bercabang dan menuntunku ke cabang yang benar.

Tamat