Am I a gay . . . ?

Aku adalah seorang remaja SLTA tahun terakhir. Seperti remaja pada umumnya, aku adalah remaja yang cukup gaul dan senang bercanda. Apakah itu dengan teman-teman cewek dan juga teman-teman cowok. Oh, ya. Selain itu juga, aku termasuk salah satu dari 3 anak terpintar dikelas yang selalu memperebutkan ranking 1 sampai 3 dengan 2 orang temanku yang lainnya. Aku mempunyai orang tua yang cukup mampu untuk mendukung hidupku hingga aku mandiri nantinya. Well, benar-benar suatu gambaran kehidupanku yang sempurna, kan?

Namun, pada saat-saat terakhirku di SLTA itulah yang menjadi awal dari segala pengetahuanku yang menyeluruh mengenai diriku sendiri. Bahwa diantara kesemua kebahagiaan dan kepintaran dan kekayaan yang kumiliki, masih ada sesuatu yang menjadi kekurangan dalam hidupku. Yaitu bahwa aku tidak mempunyai pacar. Sebenarnya sangat sederhana malah.

Jika diceritakan, aku cukup populer di SLTA-ku karena aku termasuk murid kesayangan guru-guru dan bahkan Kepsek SLTA-ku. Banyak yang tahu bahwa aku anak orang yang cukup kaya yang tidak sombong, pintar dan kocak. Dan karenanya, banyak diantara mereka yang mengenalku, khususnya para cewek, menginginkan menjadi pacarku. Kurang apa lagi?

Disitulah, perlahan namun pasti, aku sedikit demi sedikit memahami diriku sendiri. Walaupun banyak dari mereka yang menyatakan cinta, namun semuanya kutolak dengan tegas. Alasannya bahwa mereka adalah teman-temanku, dan aku tidak ingin kehilangan persahabatan hanya karena cinta anak SLTA. Pada awalnya kukira begitu. Dan, yah, mungkin begitulah.

Cerita ini sebenarnya dimulai pada waktu kami semua, para pelajar mengikuti kegiatan extra kurikuler yang diadakan sekolah kami. Pada masa itu kamu semua digembleng dengan berbagai tambahan ilmu yang diperlukan dan juga untuk menjadikan kami sebagai pribadi yang tidak hanya tahu satu hal saja, namun menjadi kreatif dalam berbagai hal dengan pengetahuan yang memadai, tentu saja.

Seorang teman, sebutlah namanya Opay, adalah salah satu temanku (tidak begitu dekat, tapi tetap teman) yang juga mengikuti program tersebut. Dia tinggalnya di satu kota jauhnya dari sekolahku. Jadi pada dasarnya setiap hari sewaktu berangkat sekolah, Opay selalu naik bis setidaknya 20-30 menit untuk sampai ke sekolah. Sementara itu, untuk program extra kurikuler kami yang menuntut semua siswa-siswi yang mengikuti untuk datang setidaknya pukul 05.30 pagi, akan agak menyulitkan baginya. Karena itu seijin dengan ortuku, maka Opay, selama seminggu program extra kurikuler tersebut, menginap di rumahku.

Nah, sebagai tambahan, pada dasarnya aku adalah seorang remaja cowok yang menyukai sesama jenis. Pada awalnya hal ini tidak kusadari walaupun tanda-tandanya telah nampak: senang melihat wajah tampan, tubuh yang fit, pria bertelanjang dada, dan sejenisnya. Hanya karena pada saat itu pengetahuanku mengenai seksologi masih sangat minim, aku menganggapnya sebagai suatu kekaguman akan machoisme.

Kejadiannya dimulai pada hari ketiga saat Opay menginap dirumahku. Hari itu luar biasa panasnya sehingga Opay, yang juga tidur sekamar denganku, dan yang palig parahnya, seranjang denganku (ranjangku ukuran Queen Size) memutuskan untuk tidur hanya menggunakan CD. Oh, ya, aku belum mengatakan bahwa aku sedikit pemalu untuk urusan buka-bukaan bahkan di depan keluargaku sendiri. Jadi bisa dibayangkan apalagi di depan temanku. Walaupun malam itu rasanya luar biasa panas, namun aku tetap menggunakan baju kaos berlengan yang lebih tipis dan celana setengah-panjang yang melewati lutut.

Oh, ya, perlu kutambahkan juga bahwa temanku yang satu ini, yang tinggal di kota sebelah, sebenarnya tinggal di'desa'nya kota tersebut. Keadaan ekonominya juga bisa dikatakan pas-pasan walaupun dia masih membantu pekerjaan orang tuanya. Pekerjaan kasar, tentu saja. Dan karena itu, untuk anak seumurnya yang sudah bekerja sekeras itu, tentu saja secara tidak langsung melatih tubuhnya. Sehingga perawakannya yang tinggi-sedang tampak pas dengan kedua lengannya yang kekar dan bahu yang bidang. Belum lagi dada yang berotot dan perut rata, serta kaki yang kuat. Tambah lagi, wajahnya juga cukup tampan untuk seorang pribumi, wajah persegi dengan rahang yang kokoh, hidung yang agak mancung, dan alis mata tebalnya berpadu dengan matanya yang jernih dan bulu matanya yang panjang dan lentik. Bisa dibayangkan?

Hasilnya, malam itu aku sulit untuk tidur. Gelisah. Karena setidaknya ada perasaan untuk terus menatap cowok yang tertidur lelap disebelahku ini. Apalagi dengan hanya menggunakan celana dalam dan posisi tidurnya yang sembarangan, banyak yang bisa dilihat. Namun pada akhirnya aku memutuskan untuk membelakanginya daripada aku tidak bisa tidur dan terlambat bangun keesokan paginya.

Tengah malam malam itu, desakan ingin kekamar kecil membuatku terbangun. Masih dengan setengah mengantuk setengah sadar, aku berjalan sempoyongan ke kamar mandi yang ada di dalam kamarku. Mungkin kata cukup mampu agak sedikit merendah jika dilihat dengan adanya kamar mandi pribadi di setiap kamar, apalagi kamarku ada di lantai 2. Aku tidak menyadari bahwa pintunya tidak tertutup dan dari celah pintu itu terlihat cahaya lampu yang dinyalakan, yang berarti ada orang didalamnya.

Aku langsung masuk menerobos kedalam. Dan dalam keadaanku yang setengah mengantuk, langsung terkesiap sadar saat melihat Opay dalam keadaan telanjang berhadapan denganku. Kedua tangannya berada pada kejantanannya yang berdiri tegak. Saat itu erangan nikmatnya berubah menjadi kata 'oh' pelan. Pemandangan yang mengejutkan itu membuatku tidak bisa berkata apapun. Aku langsung membalikkan badanku dan kembali berbaring ke atas tempat tidur. Aku merasakan wajahku memanas. Pikiranku dipenuhi dengan sosok tubuhnya yang tegap dan berisi, kejantanannya yang besar sedang berdiri tegak, erangannya yang penuh kenikmatan.

Aku mendengarnya kembali ke tempat tidur beberapa saat kemudian. Aku sengaja membelakanginya supaya aku tidak perlu melihat wajahnya dan dia tidak perlu melihat wajahku. Aku tahu dia sedang melakukan sesuatu dan sepertinya itu memalukan dan bahwa kedatanganku mengganggunya. (Aku pada saat itu tidak tahu tentang masturbasi dan pengetahuanku tentang seksologi masih minim sekali, walaupun aku sadar bahwa untuk beberapa lama sekali aku akan terbangun tengah malam dengan keadaan 'basah').

Kami terdiam lama sekali. Aku tidak bisa tidur dan aku yakin demikian juga dengan Opay. Aku tetap berkeras untuk pura-pura sudah tidur dan tidak peduli walaupun rasa ingin tahu mulai tumbuh semakin besar di dadaku.

"Wan," panggilnya pelan.
"Dah tidur?"
"He-eh." jawabku bodoh, malahan ketahuan bahwa aku belum tidur.
"Eh," katanya agak kikuk.
"Yang baru jak tuh.. Itu.."
"Aku liat kamu agik kencing, kok." kataku pura-pura.
"Ngape?"
"Eh, bukan." katanya malu. Lalu dengan berani Opay berkata, "Aku tok agek onani."

Akal sehatku menahanku untuk tidak membalikkan badanku menghadap ke arahnya. Namun rasa keingintahuanku yang semakin berontak mengalahkan akal sehatku. Aku membalikkan tubuhku dan menghadap ke arahnya.

"Ngape tuh?"
"Kau ga' tau ke ape tu onani?" tanya Opay terkejut.
"Tadak." lalu aku memberanikan diri berkata, "Tapi aku nganggu, ke?" Opay mengangguk.
"Maaf ie.."
"Tadak ngape." katanya sambil cengengesan.
"Baro jak tengah jalan."
"Belom abis gek?" tanyaku terkejut.

Lalu kami terdiam agak lama. Tidak tahu harus mengatakan apapun itu. Aku secara tidak sadar melirik selangkangannya. Kejantanannya masih berdiri tegak didalam CD-nya.

"Maseh kepingin onani, ke?"
"He-eh."
"Ngape ndak ke-WC agek?" tanyaku bodoh.
"Ndak-lah, Wan." kali ini kelihatannya Opay yang memerah wajahnya.
"Kallak-pun bise."

Keberanian yang semakin memuncak membuatku berani bertanya, "Ape sih rasenye onani?"

Opay kelihatan kaget.

"Kau ndak pernah?" Aku menggelengkan kepalaku.
"Rasenye.." Opay kelihatan sedang mempertimbangkan jawabannya.
"Nyaman."
"Nyaman macam mane?"
"Hah?" katanya bodoh.
"Eh," suaranya jadi ragu-ragu.
"Gimane bilangnye, ye?" Opay terdiam sesaat.
"Cobe jak sorang."
"Eh," wajahku langsung terasa panas.
"Nyobe sorang?" kataku gugup.
"Tapi carenye?"
"Kite bedua onani." Opay beringsut mendekat. Aku bisa merasakan nafasnya di wajahku.
"Kubantu. Akupun kepengen onani. Tadek baro setengah jalan, sih."
"Eh," kataku ragu.
"Mo ndak?" katanya dengan suara yang lebih mendesak.

Hanya perlu sedetik yang serasa seabad bagiku untuk mengatakan, "Boleh."

Opay lalu naik keatas tubuhku. Dengan tangan gemetaran, entah karena gugup atau nafsu, dia membuka celanaku. Dia mengusap-usap bagian kejantananku yang masih tertidur dan yang masih tertutup CD. Perlahan perasaan nikmat menjalar keseluruh tubuhku dan membangkitkan kejantananku. Dia tertawa. Dia lalu membuka CD-ku dan kedua tangannya langsung memegang kejantananku setelah menyingkirkan CD-ku, lalu meremas, menggosok dan memijatnya. Dalam keadaan tegang seperti itu, rasa nikmat dan nyaman yang kurasakan semakin besar. Suara-suara yang belum pernah kudengar oleh telingaku sendiri keluar dari dalam tenggorokanku. Aku memejamkan mataku.

Beberapa saat kemudian aku melihat kebawah saat aku merasakan Opay menempelkan kejantanannya pada kejantananku dan menggunakan kedua tangannya untuk meremas, memijat dan menggosok. Kejantanan kami tidak begitu jauh berbeda dalam ukuran panjang. Tapi dalam ukuran diameter, sepertinya milik Opay sedikit lebih besar. Kami mengerang dan mendesah.

"Nyaman, Pay." kataku dalam desahanku.

Dia tertawa gugup.

"Nyaman, ke?" Dia melepaskan kejantanannya dari diriku.

Aku melihat cairan bening di ujung kejantananku sendiri.

"Mo yang lebih nyaman agek?" tanyanya. Aku mengangguk.

Sesaat berikutnya, dengan sangat mengejutkanku, Opay memasukkan kejantananku dalam mulutnya, mengulum, menghisap dan menjilat. Tangannya masih bekerja, satu pada kejantananku dan satu lagi pada kedua 'bola'ku. Ini membuatku sedikit kelojotan. Punggungku melengkung nikmat. Nafasku makin terengah-engah. Kemudian yang kutahu, Opay duduk diatas dadaku dan menyodorkan kejantanannya padaku.

"Mo nyoba, ndak?" kedalaman matanya tidak dapat kuselami.

Anehnya, tanpa rasa kikuk, apalagi geli, aku membiarkan saja kejantanannya dimasukkan kedalam mulutku. Aku meniru sebaik mungkin seperti apa yang sudah dilakukannya padaku. Pinggulnya bergerak dalam satu irama. Makin lama aku merasakan kejantanannya semakin hangat dan berdenyut keras, dan pada akhirnya Opay melenguh nikmat berkepanjangan. Pada saat yang bersamaan sesuatu yang sangat hangat memenuhi mulutku. Tanpa tahu apapun maksudnya itu, aku yang tidak bisa memuntahkannya keluar karena kejantanannya memenuhi mulutku, aku menelannya. Rasa yang aneh, campuran antara aroma yang mentah dan.. Sulit untuk digambarkan.

"Kau telan ke, Wan?" tanya Opay saat dia sudah menarik kejantanannya yang lemas keluar dari mulutku. Aku menggangguk.

Dia tertawa pelan lalu menempelkan bibirnya ke bibirku dan menciumku dengan mesra. Lagi-lagi aku tidak merasa kikuk bahkan geli. Dia lalu mengubah posisi sehingga aku ada di atasnya. Aku dalam posisi merangkak diantara kedua kakinya dengan kejantanan yang masih menegang.

"Dah, abes ke?" tanyaku bingung.

Memang semua yang terjadi terasa nikmat, tapi aku tidak sampai seperti Opay tadi.

"Blom" katanya.

Dia membuat posisi kami berdua sedemikian rupa sehingga mudah untukku menyatukan diri dengannya.

"Masokkan, Wan."
"Apa?" kataku mengulang tidak percaya, padahal aku mendengarnya dengan jelas.
"Masokkan jak."

Aku pun menuruti kata-katanya. Setelah beberapa saat mencoba, tubuh kami berdua pun menyatu diiringi dengan desahan nikmat Opay. Dia memintaku untuk menciptakan iramaku sendiri. Dan, langsung saja, kenikmatan yang berkali-kali lipat lebih besar serasa menyengat seluruh tubuhku saat aku mengikuti gerakan iramaku. Aku sempat melihat kejantanan Opay yang menegang kembali sebelum aku memejamkan mata untuk menikmati kenyamananku yang sedang kurasakan.

Seperti minum air laut, makin diminum makin merasa haus, walaupun terasa semakin berat, aku semakin mempercepat iramaku mengikuti naluriku. Opay mendesah dan mengerang tidak keruan. Satu tangannya mneggosok kejantanannya dengan cepat. Sementara semakin cepat aku bergerak, semakin besar rasa nikmat yang menumpuk didalam perutku yang serasa mendesak untuk dilepaskan.

Tidak lama kemudian, kegilaan menyergapku secara mendadak. Aku membuat suara-suara yang mengerikan yang aku sendiri belum pernah mendengarnya. Aku melepaskan tenaga di dalam perutku yang mendesak keluar seiring dengan melambatnya iramaku. Samar-samar aku mendengar Opay mengerang. Aku membuka mataku dan melihat tangannya pada kejantanannya yang sekeras baja, sementara pada ujungnya tersembur cairan putih kental dalam jumlah yang cukup banyak. 'Itukah yang tadi kutelan?' tanyaku dalam hati.

Malam itu kami mengulangi hal yang sama sebanyak mungkin yang kami bisa, walaupun pada akhirnya kami terlambat bangun keesokan harinya. Kami terus melakukan hal ini sesering mungkin sesudahnya hingga kami menamatkan SLTA kami dan baginya tidak ada alasan untuk datang kekota karena sekolah kami telah usai. Aku sendiri harus pindah karena orang tuaku akan menguliahkanku di kampus terbaik menurut ukuran saku mereka. Kami masih sempat melakukannya beberapa hari sebelum keberangkatanku sebagai hadiah kenang-kenangan tamat SLTA, begitu katanya.

Namun yang jelas hal itu membekas sangat dalam didalam hatiku. Sepanjang waktu aku selalu mengingatnya sebagai 'onani berdua dengan teman', bahkan sampai aku pindah kekota besar tempat aku kuliah nantinya. Dan secara naluriah aku tahu bahwa hal ini bukan hal yang bagus untuk diceritakan karena akan sedikit memalukan.

Dan begitulah awal mulanya. Langkah berikut yang akan kuambil akan merupakan langkah penentu bagiku dan juga hidupku.

Tamat