Sesama Pria
Monday, 7 December 2009
Pemuda desa impianku
Sebetulnya sih BT juga, mendengarkan kuliah persiapan seminggu, ceramah yang membosankan dan segala tetek bengeknya. Aku juga tidak ada pikiran bakal dapat apalagi mencari jodoh di sini, sampai akhirnya kejadiannya benar-benar lain.
Singkatnya, kami sekarang sudah sampai di lokasi di daerah terpencil di Banten sana, dekat sekali dengan perkampungan Badui. Aku satu grup berlima, 3 cewek dan sahabatkku sebut saja Albert (dia anak Fakulats Hukum).
Keadaan desa jauh dari hiruk pikuk, listrik juga belum sampai, jalan tanah dan becek kalau hujan, jarang ada yang punya TV, pokoknya terisolasi sekali. Hari pertama, terasa bosan, tidak tahu mau apa, hari kedua juga begitu, ketiga.. keempat, sampai hari kelima ada kejadian yang tak terduga. Pas aku sedang mau ke kantor kelurahan yang jaraknya 15 menit naik ojek, aku dikenalkan ke seorang pemuda desa, namanya Adi (dia baru lulus SMU). Oh God, ternyata ada seorang yang begitu pure, alami, tinggi (180 cm), badan yang atletis, kulit coklat. Aku bisa lihat pancaran kharisma dari air mukanya dan kegantengannya dari pancaran matanya yang tajam. Dia itu idola gadis desa, maklum saja karena Adi jagonya team bola voli desa itu (bisa terbayang kan bodi pemain voli).
Aku hanya bisa terpana saat itu, mendadak sontak darah terasa berdesir saat menatapnya, panas seakan membakar sekujur tubuhku. Dengan ramahnya dia menyapaku, "Bade kamana Kak?" karena tidak bisa bahasa Sunda aku hanya bilang mau ke kelurahan ada rapat.
Sejak kejadian itu pikiranku jadi kacau tidak menentu, konsentrasiku pecah, aku tidak bisa lagi koordinasi tugas sebagai ketua kelompok. Pikiranku hanya satu, Adi!
"Apa dia memikirkan hal yang sama?" begitu aku melamun.
Esoknya, kulihat dia latihan voli bersama anak-anak muda sana. Aku tidak tertarik untuk ikutan main, soalnya aku memang niat hanya mau memandangi dia saja dari pinggir, mangagumi keindahan bodinya. Aduh.. pahanya begitu gempal, pantatnya begitu keras menopang ke atas, betisnya, otot lengannya, semua terbentuk alami. Belum lagi senyumannya. Mataku terus menatap setiap gerakannya, dengan harapan dia juga membalas pandanganku. Ternyata permintaanku terkabul, dia melihat ke arahku setelah menghujam sebuah smesh keras, aku memberi senyum, dia senyum balik ke aku. Oh berbunga-bunga rasanya. Sepertinya dia main semangat sekali hari itu. Ach, mungkin karena ada aku barangkali, demikian aku bergumam.
Setelah latihan, mereka duduk-duduk minum, dan sekedar mengobrol ngalor-ngidul. Aku tidak ambil peduli, pokoknya aku mau duduk di samping Adi. Dia menyelonong keluar dari tim dan malah mendekatiku, sepintas aku bisa mencium bau keringat jantannya. Ach, sungguh membuatku bergairah! aku membuka percakapan.
"Wah Adi maennya bagus ei.." kataku.
"Ach biasa aja Kak Dani.." katanya.
bla.. bla.. bla..
"Nanti malem ada acara ke mana Di?" tanyaku.
"Nggak ada, aya naon?" akhirnya dia janji mau main ke rumah sekitar jam 7.
Selepas Maghrib pikiranku tidak menentu, harap-harap cemas. Si Albert minta bantuanku menyalakan petromak, aku tidak konsen sekali. Pas jam tujuh, Adi belum muncul, jam delapan juga belum, hampir jam sembilan pun dia belum datang. Ach, sudahlah lupakan, mungkin dia cuma basa-basi. Akhirnya aku menyusul Albert tidur di dipan yang lumayan reot. Sebelum tidur aku tetap terbayang bagaimana dia menatapku waktu main voli kemarin sore, begitu mendalam dan menusuk penuh penuh arti. Tapi kenapa ya dia ingkar janji.
Begitu aku mau terpejam kira-kira jam setengah sepuluh, aku mendengar suara motor bebek di depan rumah. Dengan 1001 harapan, kuintip dari balik jendela, ach.. ternyata Adi memenuhi janjinya. Aduh senengnya (mungkin dia datang agak telat supaya tidak terganggu sama Albert barangkali, begitu kucoba menganalisa).
"Maaf Kak Dani, soalnya Adi tadi musti nganter kakak dulu!"
I don't give a damn, yang penting sekarang dia sudah tegap berdiri di depanku. Akhirnya kami mengobrol ngalor-ngidul, dari a sampai z.. tanpa kusadari (karena memang aku masih menjaga rahasia, dan kurasa dia juga begitu) aku berbaring di bahunya, sambil kucoba merangkul, erat sekali, dia tidak marah dan mungkin itu juga yang dia harapkan. Malam itu kami begitu dekat dan mesra, walau aku belum berani berbuat lebih jauh. Sepertinya aku sekarang jatuh cinta pada Adi.
Sejak itu, kami jadi sering pergi berdua dengan motor bebeknya. Saat dibonceng itulah saat yang paling indah, aku bisa leluasa meraba dadanya yang bidang, ketiaknya, payudaranya dan perutnya yang kencang dan berbulu halus. Aku juga bisa menciumi bahunya dan juga punggungnya dari belakang. Kami berburu burung, mancing, memetik buah durian, nongkrong dipinggir sungai, pokoknya tiada hari tanpa dia (tapi aku tetap selalu jaga image di depan teman-teman, aku tidak mau rahasia ini terbongkar).
Memasuki minggu ketiga, aku balik ke Jakarta karena kangen sama orang rumah. Adi, dengan ijin orang tuanya, kubawa ke Ibukota (dia belum pernah loh ke Jakarta). Saat-saat indah terjadi lagi selama dalam perjalanan, ibaratnya orang berpacaran kami saling bercumbu di dalam bis. Sesampainya di rumah, semua keluargaku tidak ada yang curiga sedikitpun pada dia. Malam itu kuajak dia ke diskotik, kukenalkan ke teman-temanku (temanku juga tidak curiga, karena memang teman gank-ku semuanya straight, dan mereka menyangka aku juga demikian).
Singkatnya malam itu (dia tidur sekamar denganku), aku nonton TV dan video. Kusetel film biru.
"Udah pernah belum Adi liat film begituan?" tanyaku.
"Belum Kak, emangnya Kak Dani punya?"
Akhirnya kami menonton berdua. Aku dengan perasaan yang tegang, jantung berdebar, dan emosi birahi yang memuncak, menunggu saat yang tepat (untuk informasi, aku belum pernah sekalipun berbuat seks sesama saat itu). Mula-mula, dengan alasan supaya lebih rileks, kurebahkan kepalaku di bahu kirinya, dia cuek saja. Tangan kanan kuletakkan di atas paha kanannya (dia pakai celana pendek), dia juga cuek. Dalam posisi begitu otomatis sikutku bertengger di dekat kemaluannya. Aku bisa merasa ada sesuatu yang mengeras, mungkin dia agak terangsang juga dengan film itu. Aku mulai meraba pahanya perlahan dan dengan penuh penjiwaan, kucoba beranikan mencium bahunya, dia mulai menggerinjal.
"Ach.. geli Kak Dani!"
"Panas ya Di.. buka aja deh kaosnya", kataku.
Lalu dia buka tanpa banyak komentar. Sekarang kepalaku berada tepat di bawah ketiaknya. Mmhh, bau maskulinnya terpancar, begitu kencang, kuhirup sedalam-dalamnya. Kuangkat lengan kirinya, kujilati sekujur ketiak kirinya, kugigit-gigit mesra. Achh nikmat sekali. Aku berputar sedikit membetulkan posisi, terus kumulai menyerang daerah dadanya, begitu berotot. Kujilati putingnya yang menegang dan merekah, lalu turun ke perut dan pusar, sementara tanganku sibuk di daerah selangkangannya. Suhu tubuhnya meningkat pesat, begitu hangat pertanda dia sudah mulai on. Kumainkan bulu-bulu seputar bawah perut, naik lagi ke atas, ke leher, bahu, di bawah rahang dan akhirnya bibir, bibir ketemu bibir, kulumat habis bibirnya, lidahnya. Dengan sedikit guidance (karena dia memang masih hijau), dia juga mampu mainkan lidahku.
Kurebahkan badannya ke lantai, kubuka juga bajuku. Permainan berlanjut, terlihat barangnya begitu besar di balik CD-nya. Mulailah kuturun ke daerah yang kutunggu-tunggu. Perlahan kuturunkan CD itu, oh.. batang kemaluannya begitu besar (20 cm) dan padat dengan sedikit precum di seputar kepalanya, begitu bagus, sunatannya begitu rapih tanpa gelambir, harum maskulin, dengan bulu-bulu yang tak begitu lebat. Aku mulai beratraksi (walau aku belum pernah oral, tapi aku juga belajar dari film-film), kujilati bagian kepalanya yang sedikit basah, "Ach Kak Dani.. enak!" Terus kujilati dan kuhisap sampai hampir semua masuk ke dalam mulut. Dengan irama yang teratur, mulutku turun naik perlahan. Selang beberapa menit, permainan kulanjutkan di daerah atas lagi, dada, perut, leher, wajah dan bibir (aku belum berani minta dia melakukan hal yang sama, takut dia tidak suka, mungkin nanti-nanti). Balik lagi ke daerah genital-nya, aku juga tidak mau pesta ini cepat berakhir.
Batang kemaluannya begitu kokoh seperti tiang pancang. Aku terus dengan gerakan maju mundur membuat dia mengerinjang keenakan, akhirnya lava yang terbendung meledak sudah, begitu hangat spermanya mengalir di mulutku, sebagian kutelan. Kuteruskan menjilat kepala kemaluannya yang masih memuntahkan sisa-sisa magma (supaya terjadi orgasme yang komplit, begitu kata buku yang kubaca). Berbarengan dengan itu, kukocok batang kemaluanku sendiri dengan kuat. Ach, magma dari Krakatau yang lain meledak sudah.
Malam itu kami tidur berdua bugil dan berpelukan, begitu mesra. Rasanya aku semakin jatuh cinta. Esoknya, kami mengulangi kejadian itu di kamar mandi. Kali ini dia yang kuminta lebih aktif. Ternyata dia begitu lincah seperti profesional, belajar cepat istilahnya. Dimulai dari saling bersabunan, ciuman di bawah shower, oral. Akhirnya kami selalu mandi bersama (keluargaku tidak ada yang curiga karena aku punya kamar mandi sendiri di kamar). Saling mencium, oral, saling masturbasi. Untuk yang satu itu, melalui dubur maksudku, aku belum berani mencoba, takut dia menolak.
Sekarang aku sudah balik ke desa, kembali ber-KKN. Waktu itu lagi ada panggung 17 Agustusan di tengah-tengah balai rakyat, jadi semua orang sibuk. Aku dan Adi otomatis juga sibuk sendiri, cari tempat yang aman. Akhirnya, dengan usaha yang keras karena kami berdua belum berpengalaman, dia menyerahkan kejantanannya kepadaku malam itu. Ach, begitu nikmatnya baru kali ini aku berhubungan badan dan rasanya tidak terdefinisi.
Esoknya kami melakukan hal yang sama, tapi kali ini giliranku yang menyerahkan keperjakaanku padanya. Aku rela serela-relanya, karena memang aku sayang dan cinta pada Adi. Tidak terasa, waktu KKN yang 45 hari habis sudah. Akhirnya aku berpisah dengan cowok pujaanku. Begitu sedih perpisahan yang kualami, aku berduaan di hari terakhir pergi ke tempat yang jauh sekali, ke pinggir hulu sungai, bermesraan dan sekali lagi setelah puas berenang kami berhubungan badan sekali lagi di alam terbuka. Itulah saat terakhirku bersama Adi.
Sejak berpisah kami sering surat-suratan, sampai suatu saat di bulan Maret 1994, aku diundang ke desanya karena ada pernikahan anaknya Pak Lurah. Kuputuskan untuk datang dengan harapan bisa ketemu Adi, dan bisa menumpahkan segala kekangenanku, rasa sayangku, rasa penantianku selama dua tahun (sekarang aku sudah bekerja di perusahaan swasta).
Oh my God.. dua tahun ternyata mampu membuat dia berubah fisik secara total. Hatiku hancur, sedih, dan remuk. Bukan karena dia sudah punya cewek (kalau ini sih aku lebih senang dan memang aku pernah menganjurkan dia supaya menikah dengan wanita di desanya yang naksir berat sama dia), tapi.. dia sekarang begitu lusuh, kurus, hitam legam terbakar matahari, tidak terurus, dan tidak semenarik dulu.
"Kenapa Di? kenapa kamu sekarang begini?" aku merintih di hadapannya.
"Saya buruh harian di PTP kelapa sawit Kak, soalnya butuh biaya."
Oh pantas dia begitu hitam dan dekil. Aku menangis mendengar itu, kupeluk dia seerat-eratnya, kuciumi dia.
"Kenapa kamu tidak pernah cerita? kan mungkin saya bisa bantu."
"Saya malu Kak, saya tidak mau ngerepotin Kak Dani."
Kemudian siang itu, aku minta dia dengan motor pinjaman, pergi ke tempat kami selalu bersama, ke hulu sungai di mana tempat kami terakhir memadu kasih. Oh, begitu indah dan mesra. Kami tidak melakukan hubungan seks apa-apa kecuali ekspresi cinta, bermesraan, berpelukan dan bertangisan. Setelah kejadian itu hingga cerita ini aku tuangkan, aku selalu terbayang dia. Tidak ada kenangan indah dalam hidupku selain hari-hari indahku bersama Adi. Adi sudah tidak pernah lagi menulis surat dan aku juga sekarang sudah ada di luar negeri (Germany) melanjutkan kuliah sampai 2002, tapi cintaku ke Adi tidak akan hilang, selamanya. Mungkinkah aku kembali lagi ke dia suatu hari?
Demikian kisah nyata dariku, aku tidak perduli dengan kondisi fisiknya yang sudah jauh beda. Aku tetap sayang dan cinta. Akhirnya dengan sedikit bantuan, kuberikan modal kepadanya.
Tamat